REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki memastikan produk minyak makan merah akan diserap oleh pasar. Hal itu setelah proyek uji coba atau piloting project pengembangannya ditargetkan selesai pada Januari 2023.
“Teknologi produksi minyak makan merah ini sudah ada, petaninya sudah mau, pembiayaan pun sudah oke, bisnis modelnya sudah ada. Sekarang ini kepastian pasarnya. Perkembangannya Agustus DED (Detail Engineering Design) selesai, produksi mulai jalan, Januari 2023 kick off,” ujar Teten dalam keterangan resmi, Senin (15/8/2022).
Dalam upaya mempersiapkan penyerapan oleh pasar agar lebih kuat, dilakukan penandatanganan Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) Tentang Kerja Sama Kemitraan Dalam Rangka Inovasi Teknologi Pengolahan Minyak Makan Merah, antara Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), Dinas Koperasi dan UKM Sumatra Utara (Diskopsu), Koperasi Produsen Sawit dan Himpunan Peritel, dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) di Jakarta, Senin (15/8).
Nota kesepahaman itu bertujuan meningkatkan kapasitas kelembagaan melalui kemitraan, pemberian pendampingan dan konsultasi kelembagaan, inovasi teknologi dan produk, digitalisasi, kewirausahaan, dan kepastian pemasaran atas hasil produk minyak makan merah ke depan.
Teten menyatakan, saat ini koperasi sudah mulai memperkenalkan pada perani untuk mengolah kelapa sawitnya yang masih dalam bentuk tandan buah segar (TBS) menjadi produk turunan. Hal ini menjadi solusi bagi para petani sawit agar kesejahteraannya meningkat.
"Sekarang petani sawit senang karena mereka tidak lagi hanya menjual TBS tapi juga punya nilai tambah karena bisa mengolah TBS sawitnya jadi minyak makan merah dan itu bisa didistribusikan ke masyarakat. Ini solusi bagaimana kita menyejahterakan petani sawit," tuturnya.
Ia juga mengapresiasi komitmen Hippindo yang sudah bersedia membuka ruang bagi para petani sawit untuk mendapatkan akses pasar yang lebih luas. Hal tersebut ditandai dengan komitmen anggota jaringan Hippindo yang melakukan kontrak dengan petani sawit untuk menyuplai minyak makan merah.
"Saya mendapat informasi dari jaringan restoran sudah ada permintaan 200 ton. Jadi nggak usah ragu setiap 1.000 hektare sawit kita bisa bangun mini pabrik untuk CPO dan minyak makan merah," tegas Teten.
Dia mengatakan, pihaknya mencoba mengembangan minyak makan merah bersama koperasi guna mendorong kemandirian pangan, serta agar ada alternatif produk dan solusi bagi keterbatasan bahan baku dan ketidakstabilan harga minyak goreng selama ini. Di Indonesia, dari 14,59 juta hektare luas perkebunan sawit, 6,04 juta hektare atau 41 persennya dikelola oleh petani swadaya dan dari total produksi sebanyak 44,8 juta ton, 35 persen diantaranya atau 15,68 juta ton adalah hasil dari sawit rakyat, angka ini merupakan potensi sangat besar.
“Minyak makan merah sudah dipraktikkan oleh negara lain. Minyak makan merah juga terbukti memiliki kandungan gizi lebih tinggi dari minyak goreng komersil bahkan minyak sawit merah Malaysia,” kata dia.
Bahkan sebagai Functional Food, minyak makan merah ini tidak hanya untuk menggoreng, tapi bisa dikonsumsi sebagai minyak makan, suplemen atau emulsi anti-stunting, dan kosmetik alami. Menkop menegaskan, ekosistem usaha pengembangan minyak makan merah bisa dilakukan koperasi, dengan kerja sama dan kolaborasi multipihak yang meliputi petani swadaya terkonsolidasi dalam wadah koperasi.
Dalam hal ini, koperasi berperan sebagai agregator sekaligus offtaker pertama hasil sawit rakyat (tandan buah segar/TBS) dengan HPP terbaik. Kemudian pendampingan kelembagaan dan proses bisnis koperasi oleh Kemenkop, pembiayaan modal kerja bagi petani sawit anggota koperasi melalui KUR oleh Himbara, pembiayaan modal kerja bagi koperasi untuk membeli TBS dari petani (offtaker pertama) oleh LPDB-KUKM.
“Sementara koperasi yang mengelola pabrik CPO dan pabrik minyak makan merah pembiayaannya akan didukung oleh pembiayaan modal investasi (mesin) oleh BPDPKS. Juga pembiayan modal kerja bagi koperasi oleh LPDB-KUKM,” katanya.
Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah menyampaikan, MoU ini meliputi penelitian dan pengkajian isu-isu penting dan strategis tentang pengembangan dan pembangunan industri agro minyak makan merah (suplemen makanan) berbasis kelapa sawit, pengembangan SDM, hingga inovasi terkait teknologi dalam proses produksi. Tujuannya menghasilkan minyak makan merah (suplemen makanan) berbasis kelapa sawit yang aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat luas.
“Selain juga melakukan program dan kegiatan strategis pemasaran, penjualan atas hasil produk minyak makan merah (suplemen makanan) yang akan dilakukan oleh Hippindo,” ujar dia.
Lebih lanjut, Kepala Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Dr Edwin Syahputra Lubis merinci, pabrik minyak makan merah terdiri dari 12 komponen mesin dengan kandungan lokal (TKDN) 70 persen, dengan kebutuhan pembiayaan yang murah yaitu Rp 8,142 miliar untuk kapasitas 10 ton per hari, sedangkan untuk pabrik CPO membutuhkan biaya Rp 15 miliar untuk kapasitas 50 ton perhari (5 ton per jam).
“Diproyeksikan koperasi akan mendapat profit per hari sebesar Rp 17.813.000 atau Rp 5.343.900.000 per tahun dengan payback periode 4 tahun dan 3 bulan,” tuturnya.
Maka, lanjut dia, harus ada skema pembiayaan terintegrasi yang terbentuk dari kolaborasi antara BPDPKS untuk modal pengadaan mesin, LPDB-KUMKM untuk modal kerja dan pembiayaan KUR (Himbara) bagi modal kerja petani sawit.
Proyek uji coba pengembangan minyak makan merah ditargetkan bisa terealisasi pada Januari 2023. Hasil Ratas (Rapat Terbatas) 18 Juli 2022, Presiden Jokowi telah menginstruksikan untuk membangun tiga lokasi awal sebagai pilot project. Progres saat ini, penyusunan DED pabrik minyak makan merah oleh PPKS dan pembahasan RSNI khusus minyak makan merah oleh BSN akan selesai pada Agustus 2022.