REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Katadata Insight Center melakukan riset selama tiga bulan, terhitung sejak Mei hingga akhir Juli 2022. Adapun hasil riset mengungkapkan pembangunan rumah subsidi kurang diminati pengembang besar.
Panel ahli Katadata Insight Center Mulya Amri mengatakan, secara umum pembangunan rumah subsidi dilakukan oleh para pengembang skala kecil menengah.
"Peran vital pemerintah dan lembaga perbankan sangat krusial untuk mengatasi backlog. Dibutuhkan lembaga perbankan yang berkomitmen menyalurkan kredit konstruksi dan KPR bersubsidi," ujarnya, Senin (15/8/2022).
Menurutnya akses permodalan dan regulasi kerap menjadi keluhan bagi pengembang rumah subsidi. Selain itu motif ekonomi menjadi alasan utama minimnya partisipasi pengembang skala besar.
Padahal, memiliki rumah tinggal yang layak huni merupakan hak asasi setiap warga negara, dan tugas pemerintah untuk memastikan hak tersebut terpenuhi. "Sehingga peran vital pemerintah dan lembaga perbankan sangat diperlukan. Alasannya, penambahan rumah subsidi sangat bergantung pada regulasi dan alokasi program pembiayaan pemerintah," ucapnya.
Mulya menyebut beragam investasi terus diupayakan untuk mengatasi sisi permintaan. Lebih dari 35 persen angka backlog membutuhkan bantuan pembiayaan.
"Salah satu jenis pembiayaan kredit pembiayaan rumah (KPR) yang disediakan oleh pemerintah yaitu fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP)," ucapnya.
Adapun program FLPP yang bersumber dari APBN disebutkan berkontribusi mengurangi backlog kepemilikan 1,2 persen hingga 2,16 persen. Selain itu kehadiran BP Tapera diharapkan menjadi sumber pendanaan non-APBN.
Saat ini, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk menjadi bank penyalur FLPP tertinggi berdasarkan jumlah unit sejak 2010 hingga April 2022, yakni 658.980 unit. Kemudian diikuti BTN Syariah sebanyak 70.542, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk sebanyak 60.756, BSI sebanyak 49.402, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk sebanyak 25.932, lalu diikuti bank lainnya.
"BTN menjadi andalan saat bank lain gagal dalam penyaluran FLPP. Semenjak 2022, BP Tapera mengubah mekanisme kuota menjadi komitmen," ucapnya.
Mulya menyebut dana bank penyalur juga digunakan dalam program penyaluran FLPP. Jika dibandingkan program subsidi lain, pemerintah mendapatkan pengembalian dari FLPP.
"Dari sekian banyak persoalan, harga tanah menjadi hambatan utama dalam penambahan pasokan rumah bagi MBR. Selain itu tingginya harga properti menyebabkan masyarakat berpenghasilan rendah membutuhkan dukungan pembiayaan," ucapnya.
Maka itu, untuk menjaga keberlanjutan program pembiayaan dibutuhkan sumber pendanaan alternatif, sehingga kolaborasi dengan perbankan sangat penting dalam mendukung kepemilikan rumah bagi MBR.