REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Menteri Agama (Wamenag), KH Zainut Tauhid Sa’adi mengingatkan agar aparatur sipil negara (ASN) Kementerian Agama (Kemenag) harus dapat menjaga kerukunan dan persatuan, baik di internal maupun antar umat beragama menjelang datangnya tahun politik. Hal itu disampaikan Wamenag dalam agenda pengarahan dan pembinaan ASN Kemenag di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
"Saya tegaskan, menjelang tahun politik, jangan sampai gara-gara berbeda pandangan, berbeda pilihan politik, suami-istri bertengkar, tetangga tidak berteguran, antar saudara tidak rukun. Kita sebagai penghulu, penyuluh agama, guru, kita mesti menjaga kerukunan dan perdamaian antar umat beragama, dan antar kelompok masyarakat" kata Wamenag melalui pesan tertulis kepada Republika, Selasa (16/8/2022).
Wamenag menjelaskan alasan pentingnya menjaga kerukunan, karena masyarakat Indonesia hidup dalam masyarakat yang majemuk atau berbeda-beda. Beda adat istiadatnya, bahasanya, sukunya, agamanya dan beda pilihan politiknya.
Ia mengingatkan, di dalam masyarakat yang majemuk ini, masyarakat harus memberikan pemahaman yang moderat, baik moderat dalam berpolitik maupun beragama.
Ia menerangkan, Kemenag memiliki program prioritas, salah satunya moderasi beragama. Menurutnya, moderasi yang dimaksud bukan memoderatkan agama, karena agama sejatinya nilai-nilainya sudah moderat, yang perlu dimoderatkan adalah perilaku dan cara umat dalam menjalankan agamanya. Supaya tidak ekstrem, baik ekstrem kiri maupun kanan, dalam kata lain tidak radikal juga tidak liberal.
"Indonesia ini merupakan negara damai atau darussalam dan juga negara yang cinta damai. Meskipun kita berasal dari agama, golongan, atau kelompok yang berbeda, tetapi kehidupan masyarakat kita tetap harmonis, penuh toleransi dan saling menghormati," ujar Wamenag.
Wamenag mengatakan, sikap toleransi itu harus terpelihara agar tidak mudah dipecah belah dan diadu domba. Hal ini penting ditekankan disaat bangsa ini menghadapi tahun politik yang penuh dinamika.
"Kita tidak boleh menganggap hanya kelompok kita lah yang paling benar, sementara kelompok lain itu salah," kata Wamenag.
Kiai Zainut mengingatkan, di dalam internal umat Islam saja punya banyak perbedaan, baik perbedaan mazhabnya, organisasinya, bahkan pilihan politiknya. Perbedaan-perbedaan itu diperbolehkan selama tidak menyinggung permasalahan pokok atau ushul agama. Ada yang pakai qunut ada yang tidak, ada yang memelihara jenggot ada yang tidak, ada yang bercelana cingkrang ada yang tidak, perbedaan-perbedaan furu'iyah itu diperbolehkan.
“Hal ini dicontohkan oleh para ulama terdahulu. Imam Syafii itu berbeda pandangan dalam banyak hal dengan gurunya, Imam Malik. Imam Syafii mengajarkan qunut saat Subuh sementara Imam Malik tidak. Tapi ketika Imam Syafii datang ke kotanya Imam Malik, beliau tidak pakai qunut karena beliau menghormati gurunya," jelas Wamenag.
Kiai Zainut menambahkan, kecuali jika sudah menyinggung permasalahan ushul, seperti ada Nabi setelah Nabi Muhammad SAW, baru dipersoalkan, kerana itu bukan lagi perbedaan, melainkan penyimpangan.