Rabu 17 Aug 2022 06:15 WIB

Pengambilalihan Hutan Jawa Digugat ke PTUN, Begini Tanggapan KLHK 

KLHK bantah tidak pernah menyosialisasikan tentang pengelolaan khusus di Pulau Jawa.

Rep: Febryan A / Red: Ratna Puspita
Ilustrasi. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) belum menerima informasi gugatan atas Surat Keputusan Menteri LHK Nomor 287 tentang Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) di Pulau Jawa.
Foto: ANTARA/Raisan Al Farisi
Ilustrasi. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) belum menerima informasi gugatan atas Surat Keputusan Menteri LHK Nomor 287 tentang Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) di Pulau Jawa.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akhirnya memberikan tanggapan terkait gugatan atas Surat Keputusan Menteri LHK Nomor 287 tentang Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) di Pulau Jawa. Gugatan tersebut dilayangkan aliansi masyarakat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. 

"KLHK belum menerima (informasi) gugatan secara resmi dari PTUN. Jadi belum bisa merespons materi gugatan," kata Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) KLHK Bambang Supriyanto kepada Republika, Selasa (16/8/2022). 

Baca Juga

Terkait tudingan penggugat bahwa SK tersebut tak pernah disosialisasikan, Bambang membantahnya. Dia bilang, kebijakan KHDPK hutan Jawa telah dan sedang disosialisasikan, baik secara tatap muka maupun secara daring lewat pemberitaan di media massa. 

Bambang pun mengirimkan puluhan link berita terkait KHDPK kepada Republika. Hampir semua berita itu menjelaskan soal manfaat dan pentingnya kebijakan KHDPK. 

Pemerintah melalui SK Menteri LHK Nomor 287 menetapkan 1,1 juta hektare hutan produksi dan hutan lindung di Pulau Jawa sebagai KHDPK. Alhasil, area kelola Perum Perhutani tersisa 1,3 juta hektare, dari sebelumnya 2,4 juta hektare. 

Lewat skema KHDPK, pemerintah akan menggunakan 1,1 juta hektare hutan itu untuk sejumlah kepentingan. Beberapa di antaranya adalah untuk Perhutanan Sosial, rehabilitasi hutan, dan penataan hutan untuk mengatasi konflik tenurial. 

Kebijakan ini mendapat penolakan dari sejumlah kelompok masyarakat. Terbaru, Aliansi Selamatkan Hutan Jawa menggugat SK tersebut ke PTUN Jakarta. Aliansi meminta PTUN memerintahkan Menteri LHK Siti Nurbaya mencabut SK tersebut. Gugatan itu sudah teregister di Kepaniteraan PTUN Jakarta tanggal 10 Agustus 2022. 

Aliansi melayangkan gugatan karena menilai SK tersebut berpotensi mengakibatkan deforestasi hutan Jawa. Selain itu, SK tersebut juga telah memicu konflik sosial dan konflik lahan di berbagai daerah. 

Denny Indrayana selaku kuasa hukum Aliansi Selamatkan Hutan Jawa mengatakan, SK tersebut mengandung berbagai kecacatan serta ketidakabsahan. Mulai dari cacat wewenang, cacat prosedur, dan cacat substansi. Tiga kecacatan itu dinilai dapat menjadi dasar pencabutan SK tersebut. 

Denny menjelaskan, sebagai regulasi turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja, SK tersebut melanggar putusan Mahkamah Konstitusi. MK sebelumnya memutuskan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. MK juga melarang pemerintah menerbitkan aturan pelaksana UU Cipta Kerja. Pemerintah juga diperintahkan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan bersifat strategis dan berdampak luas terkait UU Cipta Kerja. 

Di samping itu, kata Denny, SK tersebut juga cacat prosedur karena diterbitkan tanpa sosialisasi, baik sebelum diterbitkan maupun usai disahkan. Jika dilihat dari sisi substansi, kata Denny, SK ini juga bermasalah. Sebab, diterbitkan atas wilayah kerja BUMN Kehutanan sehingga bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement