Rabu 17 Aug 2022 23:29 WIB

KPHAM: Polisi Penghambat Kasus Brigadir J Pantas Dipidanakan

Semua polisi yang terlibat kasus Brigadir J harus diproses hukum.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Indira Rezkisari
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Mahasiswa Peduli Keadilan (MPK) melakukan aksi damai untuk keadilan Brigadir J di Tugu Kujang, Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa (16/8/2022). Dalam aksinya mereka mendukung langkah Kapolri dan Kabareskrim Polri untuk mengusut tuntas kasus pembunuhan Brigadir J dan segera melakukan persidangan terhadap sejumlah tersangka.
Foto: ANTARA/Arif Firmansyah
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Mahasiswa Peduli Keadilan (MPK) melakukan aksi damai untuk keadilan Brigadir J di Tugu Kujang, Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa (16/8/2022). Dalam aksinya mereka mendukung langkah Kapolri dan Kabareskrim Polri untuk mengusut tuntas kasus pembunuhan Brigadir J dan segera melakukan persidangan terhadap sejumlah tersangka.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komite Pengacara untuk Hak Asasi Manusia (KPHAM) mendesak tindakan tegas terhadap para pejabat kepolisian yang merintangi proses hukum kasus Brigadir Nofryansyah Joshua Hutabarat atau Brigadir J. Tindakan tegas itu antara lain berupa proses hukum pidana dan penahanan terhadap semua yang terlibat.

Pengacara senior KPHAM Abusaid Pelu menyatakan penanganan kasus Brigadir J melalui penetapan tersangka dan perlindungan Bharada E bukanlah akhir. Ia mendesak semua pejabat polisi yang terlibat merusak, menghancurkan dan menghilangkan bukti harus diproses hukum.

Baca Juga

"Tak cukup dengan penempatan khusus atau Patsus kurang tepat. Karena yang  dilakukan bukan lagi pelanggaran etika profesi, tapi pelanggaran hukum pidana," kata Abusaid kepada wartawan, Rabu, (17/8/2022).

Abusaid menilai perintangan proses hukum yang melibatkan pejabat polisi telah merusak etika profesi polisi sebagai penegak hukum. Bahkan tindakan ini menurutnya pantas diganjar sanksi pidana dengan hukumannya tidak ringan.

Abusaid merujuk Pasal 233 dan Pasal 52 KUHP. Bunyi Pasal 233, “Barangsiapa dengan sengaja menghancurkan, merusak, membikin tak dapat dipakai, menghilangkan barang-barang yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan sesuatu di muka penguasa yang berwenang, akta-akta, surat-surat atau daftar-daftar yang atas perintah penguasa umum, terus menerus atau untuk sementara waktu disimpan, atau diserahkan kepada seorang pejabat, ataupun kepada orang lain untuk kepentingan umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

Sedangkan Pasal 52 KUHP berbunyi, “Bilamana seorang pejabat karena melakukan tindak pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan, kesempatan dan sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya ditambah sepertiga”.

"Dengan kedua pasal itu saja, jelas harus ada tindakan tegas. Baik Presiden, Menko Polhukam, Kapolri, dan juga Timsus. Jika ada komitmen besar mengungkap kasus ini, maka perintangan proses hukum oleh pejabat kepolisian juga harus diproses serius," ujar Abusaid.

Anggota KPHAM Ori Rahman meyakini pejabat kepolisian yang terlibat tersebut dapat dikenakan dasar pemberat pidana. Pasal 52 menyoroti keadaan jabatan dari pembuat kerusakan barang bukti. Bahkan paling tidak ada empat keadaan yang bisa menjerat perbuatan mereka.

Pertama, melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya. Kedua, memakai kekuasaan jabatannya. Ketiga, menggunakan kesempatan karena jabatannya. Keempat, menggunakan sarana yang diberikan karena jabatannya.

"Subjek hukum tersebut diperberat ancaman pidananya dengan ditambah dengan sepertiga, yaitu seorang pejabat atau pegawai negeri yang melakukan tindak pidana dengan melanggar dan atau menggunakan 4 keadaan tersebut di atas," ucap Ori.

Diketahui, Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo mengungkapkan, bahwa saat ini puluhan personel Polri diduga melakukan pelanggaran Kode Etik Profesi Polri. Jumlah itu meningkat dari sebelumnya, yakni sebanyak 25 personel Polri.

"Kemarin ada 25 personel yang kami periksa, dan saat ini bertambah menjadi 31 personel. Kami juga telah melakukan penempatan khusus kepada empat personel beberapa waktu yang lalu dan saat ini bertambah menjadi 11 personel Polri," kata Listyo Sigit kepada wartawan dalam konferensi pers, di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (9/8/2022).

Irjen Pol Ferdy Sambo sendiri sudah ditetapkan sebagai tersangka bersama dua ajudan dan satu asisten rumah tangga merangkap sopir dalam kasus Brigadir J. Ketiganya adalah Bharada Richard Eliezer atau Bharada E, Brigadir Kepala Ricky Rizal atau Bripka RR, dan Kuat Maaruf atau KM.

Keempat tersangka dijerat Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana subsider Pasal 338 KUHP junto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Mereka menghadapi ancaman maksimal hukuman mati atau penjara seumur hidup atau selama-lamanya 20 tahun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement