REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti Azmi Syahputra menilai, Ferdy Sambo memang sengaja ingin mengaburkan motif pembunuhan keju terhadap ajudannya, Brigadir J. Hal ini terbukti dari skenario-skenario yang dibuatnya dan banyaknya anggota yang terlibat di belakangnya.
“Kasus ini memang sejak awal sampai hari ini terlihat banyak skenario yang mau ditutupi termasuk menghilangkan fakta-fakta, alat bukti serta menghalangi penyidikan karena maksud pelaku memang mengaburkan motif aslinya,” ujar Azmy dalam keterangannya, Rabu (17/8).
Meskipun demikian lanjut dia, pembebanan pidana kepada pelaku harus diusahakan agar sesuai dan seimbang. Karena, jika memperhatikan Pasal 340 KUHP maka sanksi maksimal adalah hukuman mati.
“Apalagi melihat perbuatan pelaku yang sangat terencana, ganas, sadis, kejam dan tidak mengenal perikemanusiaan, dan dapat membahayakan masyarakat. Apalagi pelaku tega membunuh orang terdekatnya dalam hal ini Brigadir J selaku ajudan pelaku, maka layak pula dibenci perbuatannya ini dan sepatutnya dikenakan hukuman mati atau hukuman seumur hidup,” katanya.
Azmy menjabarkan, konstruksi Pasal 340 KUHP, terdapat beberapa hal yang dirumuskan menjadi penting dalam menerapkan Pasal ini. Poin Pertama, pelaku ketika memutuskan kehendak untuk melakukan dalam keadaan tenang.
Kedua, ada ruang tenggang waktu yang cukup antara memutuskan kehendak dan melaksanakan perbuatannya. Ketiga, pelaksanaan perbuatan dilakukan dalam keadaan tenang.
“Bila irisan tiga hal ini terpenuhi, maka kepada pelaku tentunya mengacu pada ancaman pasal 340 KUHP, sehingga ancaman hukuman ini bagi pelaku seolah sedang menuju penghuni kamar tunggu maut (death row) bila nantinya pelaku dijatuhi hukuman mati oleh hakim,” kata dia.
Seperti diketahui, berdasarkan pengakuan Bharada E, Ferdy Sambo ikut mengakhiri eksekusi Brigadir J dengan menembak bagian belakang kepalanya. Komnas Ham juga telah mengungkapkan, bahwa Sambo merupakan otak utama dalam skenario pembunuhan Brigadir J.
Bahkan yang terbaru, Sambo diketahui telah menguras isi rekening ajudannya tersebut setelah kematiannya. Uang sebesar Rp 200 juta, ditransfer ke rekening salah satu tersangka. Pengacara Brigadir J berharap, agar polri mau melibatkan PPATK atas kematian kliennya.