Kamis 18 Aug 2022 08:43 WIB

Anggota Polri Penghambat Penyidikan Pembunuhan Brigadir J Harus Dipidana

Bukan hanya mencoreng-moreng korps Polri, tapi juga mengangkangi penegakan hukum.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Agus Yulianto
Komisioner Komnas HAM M. Choirul Anam (kiri) dan Beka Ulung Hapsara (kedua kiri) saat akan meninjau tempat kejadian perkara di rumah dinas mantan Kadiv Propam Irjen Pol Ferdy Sambo di Komplek Polri Duren Tiga, Jakarta, Senin (15/8/2022). Kedatangan Komnas HAM itu untuk memeriksa tempat kejadian perkara dan menyandingkan dengan data-data serta keterangan yang telah diperoleh Komnas HAM terkait dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Komisioner Komnas HAM M. Choirul Anam (kiri) dan Beka Ulung Hapsara (kedua kiri) saat akan meninjau tempat kejadian perkara di rumah dinas mantan Kadiv Propam Irjen Pol Ferdy Sambo di Komplek Polri Duren Tiga, Jakarta, Senin (15/8/2022). Kedatangan Komnas HAM itu untuk memeriksa tempat kejadian perkara dan menyandingkan dengan data-data serta keterangan yang telah diperoleh Komnas HAM terkait dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J. Republika/Putra M. Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para anggota Polri pelaku obstruction of justice dalam kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat (J), tak cukup hanya diberikan sanksi etik. Komite Pengacara untuk Hak Asasi Manusia (KP-HAM) meminta, agar Kapolri Listyo Sigit Prabowo menyeret para anggotanya yang membantu perintangan pengungkapan, dan penyidikan hukum pembunuhan Brigadir J, ke ranah pemidanaan.

Pengacara KP-HAM Abusaid Pelu menilai, sanksi yang diberikan Polri kepada anggotanya saat ini, cuma berupa penempatan khusus (patsus). Padahal, kata dia, perbuatan obstruction of justice yang dilakukan para anggota Polri itu, bukan cuma mencoreng-moreng korps Polri sebagai aparat penegak hukum. Namun juga, mengangkangi proses penegakan hukum. 

Baca Juga

“Semua pejabat (anggota) Polri yang terlibat, merusak, menghancurkan, dan menghilangkan barang bukti dalam kasus pembunuhan Brigadir Joshua itu, harus diproses hukum. Tidak cukup dengan hanya penempatan khusus," kata Abusaid dalam siaran pers, yang diterima wartawan di Jakarta, Kamis (18/8). 

"Karena yang dilakukan itu, bukan lagi pelanggaran etika dan profesi. Tetapi, sudah merupakan pelanggaran pidana,” katanya lagi.

Abusaid mengatakan, aksi para anggota Polri, ‘pembantu’ tersangka Inspektur Jenderal (Irjen) Ferdy Sambo itu, sudah melanggar ketentuan Pasal 233, dan Pasal 52 KUH Pidana. Pasal 233 itu, terkait dengan ancaman pidana atas rangkaian obstruction of justice, berupa kesengajaan menghancurkan, merusak, menghilangkan barang-barang bukti terkait dengan pembuktian peristiwa pidana. Aturan itu, memberikan sanksi empat tahun penjara. 

Pasal 52, menambahkan sanksi lebih berat jika perbuatan Pasal 233 tersebut, dilakukan oleh pejabat negara, pun aparat penegak hukum.

Karena itu, menurut Abusaid, akan menjadi tak konsisten bagi Polri, sebagai korps penegak hukum utama, mengabaikan sanksi pidana atas anggotanya yang melakukan pelanggaran hukum berat berupa obstruction of justice. 

KP-HAM, kata Abusaid, menagih komitmen Kapolri Sigit, yang pernah mengatakan, bakal tetap menjerat pidana para anggotanya, yang terbukti melakukan penghambatan dalam proses pengungkapan, dan penyidikan hukum, atas pembunuhan Brigadir J.

“Jika ada komitmen besar untuk mengungkap tuntas kasus ini (pembunuhan Brigadir J), maka bagi anggota Polri yang melakukan perintangan proses hukum, juga harus diproses ke ranah pidana secara serius,” terang Abusaid.

Hal serupa, juga pernah disampaikan sejumlah pihak terkait pidana turunan, dalam kasus pembunuhan Brigadir J, oleh Irjen Sambo ini. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), pekan lalu mengatakan, fakta terjadinya obstruction of justice dalam proses pengungkapan pembunuhan Brigadir J ini terindikasi kuat.

Komisioner Komnas HAM, Mohammad Choirul Anam mengatakan, hal tersebut, pun diakui oleh Irjen Sambo, sebagai dalang, dan tokoh utama perencanaan pembunuhan Brigadir J. “Obstruction of justice, dalam konteks HAM, masuk ke ranah pidana. Nggak cukup hanya (pemberian sanksi) kode etik,” ujar Anam, Kamis (11/8). 

Pengacara keluarga Brigadir J, Kamaruddin Simanjuntak, Selasa (16/8), pun meminta agar Kapolri, menjalankan komitmennya untuk tak cuma memberikan sanksi etik terhadap para anggotanya, yang membantu Irjen Sambo merekayasa, dan membuat skenario palsu, sampai pada penghambatan proses pengungkapan kematian Barigadir J.

Sampai Selasa (16/8), proses pemeriksaan etik para anggota Polri yang membantu Irjen Sambo dalam menghambat pengungkapan pembunuhan Brigadir J, sudah dilakukan terhadap 63 nama. Para anggota yang diperiksa itu, dari beragam kepangkatan, sampai level Inspektur Jenderal (Irjen), sampai ke Komisaris Polisi (Kompol). 

Mereka yang diperiksa itu, pun berasal dari lintas satuan, dan korps. Dari 63 yang diperiksa itu, sebanyak 36 di antaranya, terbukti melakukan pelanggaran etik. Sebanyak 16 diantaranya, sudah dilakukan penempatan khusus di Mako Brimob, dan di Provost untuk ditahan.

Dalam kasus pembunuhan Brigadir J, Polri sudah menetapkan empat orang sebagai tersangka. Di antaranya, Irjen Sambo, dan Bharada Richard Eliezer (RE), Bripka Ricky Rizal (RR), dan satu warga biasa, inisial KM. Empat tersangka itu, dijerat dengan sangkaan Pasal 340 KUH Pidana, subsider Pasal 338 KUH Pidana, juncto Pasal 55, dan Pasal 56 KUH Pidana. Empat tersangka tersebut, terancam hukuman mati, atau penjara seumur hidup, atau minimal 20 tahun penjara.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement