Kamis 18 Aug 2022 19:58 WIB

Presiden Tegaskan Jajarannya Mencari Cara Menurunkan Inflasi

Inflasi hingga Juli 2022 telah mendekati angka lima persen.

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (kanan) berbincang dengan Menteri BUMN Erick Thohir dan Menkop UMKM Teten Masduki (kiri) saat menghadiri pembukaan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pengendalian Inflasi tahun 2022 di Istana Negara, Jakarta, Kamis (18/8/2022). Dalam Rakornas tersebut Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memperkirakan inflasi bisa berisiko lebih tinggi dari batas atas sasaran 3 persen, plus minus 1 persen hingga akhir tahun yang disebabkan oleh masih tingginya harga pangan dan energi global, gangguan cuaca, serta kesenjangan pasokan antarwaktu dan antardaerah.
Foto: ANTARA/Hafidz Mubarak A
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (kanan) berbincang dengan Menteri BUMN Erick Thohir dan Menkop UMKM Teten Masduki (kiri) saat menghadiri pembukaan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pengendalian Inflasi tahun 2022 di Istana Negara, Jakarta, Kamis (18/8/2022). Dalam Rakornas tersebut Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memperkirakan inflasi bisa berisiko lebih tinggi dari batas atas sasaran 3 persen, plus minus 1 persen hingga akhir tahun yang disebabkan oleh masih tingginya harga pangan dan energi global, gangguan cuaca, serta kesenjangan pasokan antarwaktu dan antardaerah.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Novita Intan, Dessy Suciati Saputri

Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta masing-masing kepala daerah dengan inflasi tertinggi untuk mencermati secara detil penyebabnya sehingga tingkat inflasi dapat turun hingga ke level 5 persen. Dalam sambutannya pada pembukaan Rakornas Pengendalian Inflasi 2022 Presiden Jokowi merinci kelima provinsi dengan tingkat inflasi tertinggi. Daerah tersebut yakni Jambi berada di 8,55 persen, Sumatra Barat 8,01 persen, Bangka Belitung 7,77 persen, Riau 7,04 persen, dan Aceh 6,97 persen.

Baca Juga

"Tolong ini dilihat secara detil yang menyebabkan ini apa. Agar kita bisa selesaikan bersama dan bisa turun lagi di bawah 5 persen, syukur bisa di bawah 3 persen," kata Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (18/8/2022).

Presiden Jokowi memerintahkan agar kepala daerah tingkat kota hingga provinsi dapat mencermati penyebab inflasi yang saat ini menjadi momok di semua negara di tengah krisis pangan. Menurut Kepala Negara, kepala daerah harus bekerja sama dengan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) dan Tim Pengendali Inflasi Pusat (TPIP) untuk selalu mencari tahu komoditas pangan yang menyebabkan inflasi. Dengan koordinasi tersebut, katanya, komoditas yang berlimpah di satu daerah dapat didistribusikan ke daerah yang sedang mengalami kenaikan harga.

"Saya meyakini kalau kerja sama yang tadi saya sampaikan, provinsi, kabupaten, kota, TPIP, TPID, semuanya bekerja, rampung, selesai, untuk mengembalikan lagi ke angka di bawah tiga, selesai. Wong kita barangnya juga ada kok," kata Presiden Jokowi.

Dalam kesempatan yang sama, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyampaikan inflasi pada Juli 2022 telah mencapai 4,94 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) atau masih lebih rendah dari negara lain. Angka tersebut tetapi melebihi dari batas atas sasaran tiga persen plus minus satu persen.

Peningkatan tersebut terutama disebabkan tingginya inflasi kelompok pangan bergejolak mencapai 11,47 persen (yoy), yang seharusnya tidak lebih dari lima persen atau maksimal enam persen. Di sisi lain tingkat inflasi Indonesia masih lebih terjaga dibandingkan negara-negara lain, seperti Amerika Serikat yang mencapai 8,5 persen, Uni Eropa sebesar 8,9 persen, bahkan Turki sudah mencapai 79,6 persen.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan, pemerintah bersyukur inflasi nasional masih terkendali yakni di angka 4,9 persen. Ia menyebut, angka inflasi ini masih lebih baik jika dibandingkan dengan negara lainnya.

Airlangga mengatakan, terkendalinya angka inflasi nasional salah satunya didukung oleh subsidi yang digelontorkan oleh pemerintah. Subsidi yang mencapai lebih dari Rp 500 triliun ini digunakan untuk mempertahankan harga energi sehingga tidak membebani masyarakat.

“Terkendalinya ini salah satunya adalah langkah pemerintah melalui APBN, termasuk mempertahankan harga energi yaitu APBN sebagai shock absorber sehingga dari kenaikan harga BBM, harga keekonomiannya tidak diteruskan ke masyarakat,” jelasnya.

Menurutnya harga kebutuhan pangan saat ini juga relatif sudah terkendali. Harga kebutuhan pokok seperti beras pun saat ini masih berkisar Rp 10 ribu, sedangkan harga kebutuhan pokok lainnya seperti daging sapi, daging ayam, bawang merah, bawang putih, cabai merah, dan gula pasir juga relatif sudah melandai.

“Harga-harga pangan relatif terkendali baik itu beras yang angkanya sedikit di atas Rp 10 ribu. Dan tadi bapak Presiden kembali mengulangi bahwa pemerintah mendapatkan penghargaan dari IRRI, terutama terkait dengan swasembada beras dalam tiga tahun terakhir dan juga terkait dengan sistem dari ketahanan pangan,” kata Airlangga.

Potensi kenaikan inflasi namun tetap mengancam. Terutama jika pemerintah menaikkan harga Pertalite. Hal tersebut diyakini akan berdampak pada kenaikan inflasi.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, saat ini masyarakat masih belum pulih dari pandemi, terbukti ada 11 juta lebih pekerja yang kehilangan pekerjaan, jam kerja dan gaji dipotong, hingga dirumahkan. Jika ditambah kenaikan harga BBM subsidi dikhawatirkan tekanan ekonomi sekitar 40 persen kelompok rumah tangga terbawah akan semakin berat.

“Belum lagi ada 64 juta UMKM yang bergantung dari BBM subsidi. Pemerintah juga harus memikirkan efek ke UMKM, karena subsidi ini bukan hanya kendaraan pribadi tapi juga dipakai kendaraan operasional usaha kecil dan mikro,” ucapnya.

Bhima menilai pemerintah perlu mematangkan data masyarakat jika ingin melakukan pembatasan pembelian Pertalite. Hal ini tidak bisa dilihat yang berhak memakai subsidi hanya orang miskin, tapi juga pelaku usaha kecil.

“Sebaiknya pemerintah pikir-pikir dulu pembatasan maupun mencabut sebagian subsidi. Jika kenaikan harga Pertalite dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter, diperkirakan inflasi tahun ini tembus enam persen sampai 6,5 persen year on year. Dikhawatirkan menjadi inflasi yang tertinggi sejak September 2015,” ucapnya.

Menurutnya kenaikan harga Pertalite juga akan meringankan beban APBN, tapi sisi yang lain pemerintah wajib meningkatkan dana belanja sosial sebagai kompensasi kepada orang miskin dan rentan miskin atas naiknya harga BBM subsidi. “Jadi ini ibarat hemat kantong kanan, tapi keluar dana lebih besar kantong kiri,” ucapnya.

Bhima menyarankan hal lain dibandingkan menaikkan harga BBM jenis subsidi. Seperti memperketat pengawasan solar subsidi khusus kendaraan angkutan di perusahaan pertambangan dan perkebunan skala besar.

Lalu menunda proyek infrastruktur dan alokasikan dana untuk menambah alokasi subsidi energi. Keempat, mengalihkan sebagian dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) khusus subsidi energi.

“Terakhir, penghematan belanja pegawai, belanja barang dan jasa, termasuk transfer ke daerah masih bisa dilakukan. Pemerintah juga dibekali dengan UU darurat keuangan dimana pergeseran anggaran tanpa persetujuan DPR. Jadi lebih cepat dilakukan perombakan ulang APBN semakin baik,” ucapnya.

photo
Inflasi sepanjang 2021 - (Tim infografis Republika)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement