REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengajak semua pihak menaruh perhatian terhadap pengadilan pelanggaran HAM berat Paniai berdarah. Komnas HAM mengingatkan, peristiwa yang terjadi pada 2014 itu bukanlah kasus kejahatan biasa.
"Kita mesti bersama menyadari bahwa pengadilan HAM Paniai adalah peristiwa hukum yang sangat penting. Ini bukan pidana main-main. Maka bersama harus perhatikan seluruh prosesnya," kata Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Amiruddin dalam webinar pada Kamis (18/8).
Amiruddin sudah menyimak tiga sidang pengadilan HAM sebelumnya yaitu kasus Timor Timur tahun 1999, kasus Tanjung Priok 1984 dan peristiwa Abepura 2000. Dalam pengamatannya, ia menemukan fungsi perlindungan saksi belum maksimal. Dalam tiga sidang kasus itu memang belum terbentuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
"Salah satunya bagaimana bisa berikan perlindungan ke siapapun saksi agar bisa beri keterangan maksimal di depan majelis hakim," ujar Amiruddin.
Amiruddin mendesak, peran perlindungan saksi mesti diutamakan. Sebab, hanya kesaksian di ruang persidangan lah yang berarti dalam proses menemukan keadilan.
"Kuncinya kesaksian di depan majelis hakim. Kalau di luar pengadilan maka hanya berhenti sebagau opini tidak jadi fakta hukum," tegas Amiruddin.
Amiruddin menaruh harap bahwa para saksi bersedia memberi keterangan di persidangan. "Kesaksian adalah kunci. Kalaubpengadilan berjalan baik maka kesaksian mesti ada," lanjut Amiruddin.
Di sisi lain, Amiruddin menilai penyelenggaraan sidang Paniai di Makassar menjadi upaya dalam rangka menghentikan impunitas. Walau ia mengakui rasa kecewa tak bisa hilang begitu saja karena penantian atas sidang Paniai terlampau panjang.
"Meski kita banyak kecewa di tahun-tahun sebelumnya. Terlalu lama terbengkalai tidak ada yang perhatikan," ucap Amiruddin.
Oleh karena itu, Amiruddin berharap sidang kasus Paniai dapat melahirkan putusan adil. "Saya tempatkan proses ini untuk uji komitmen semua pada upaya memutus impunitas. Pengadilan jadi batu uji," ucap dia.
Diketahui, dalam kasus pelanggaran HAM berat Paniai ini, penyidik pada Jampidsus, menetapkan IS sebagai tersangka tunggal, Jumat (1/4/2022). IS adalah anggota militer yang menjabat sebagai perwira penghubung saat peristiwa Paniai Berdarah terjadi 2014 lalu.
Tersangka IS dituding bertanggung jawab atas jatuhnya empat korban meninggal dunia, dan 21 orang lainnya luka-luka dalam peristiwa demonstrasi di Paniai. Mengacu rilis resmi, tim penyidik, menjerat IS dengan sangkaan Pasal 42 ayat (1) juncto Pasal 9 huruf a, juncto Pasal 7 huruf b UU 26/200 tentang Pengadilan HAM.