REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Gubernur bank sentral Sri Lanka, Nandalal Weerasinghe, pada Kamis (18/8/2022) mengatakan, dia berharap pemerintah dapat mencapai kesepakatan bailout dengan Dana Moneter Internasional (IMF). Pemerintah mengatakan, krisis ekonomi Sri Lanka membuat negosiasi dengan IMF menjadi sulit.
Weerasinghe mengatakan, kesepakatan dengan IMF akan memberikan gambaran yang jelas tentang keberlanjutan utang dan target utang yang harus kita capai dalam 10 tahun ke depan. Setelah kesepakatan tercapai, Sri Lanka akan mendekati pemegang obligasi negara dan kreditur eksternal lainnya.
“Kami berharap semua kreditur kami akan mendukung Sri Lanka, begitu mereka melihat program makro yang kuat yang didukung oleh IMF,” kata Weerasinghe.
Krisis ekonomi Sri Lanka memicu protes publik besar-besaran yang menyebabkan penggulingan Presiden Gotabaya Rajapaksa bulan lalu. Pada April, Sri Lanka mengumumkan bahwa, mereka menangguhkan pembayaran pinjaman luar negeri. Total utang luar negeri Sri Lanka adalah 51 miliar dolar AS. Sementara utang yang harus dibayar pada 2027 sebesar 28 miliar dolar AS. Sri Lanka mengatakan, mereka perlu merestrukturisasi semua utangnya.
Presiden Sri Lanka terpilih, Ranil Wickremesinghe mengatakan, dua minggu lalupemerintahnya telah memulai negosiasi dengan IMF mengenai rencana penyelamatan utang selama empat tahun. Mereka juga telah memulai finalisasi rencana restrukturisasi utang.
Namun, Wickremesinghe mengatakan, negosiasi dengan IMF menjadi sulit karena kebangkrutan Sri Lanka. Pembicaraan tersebut awalnya diharapkan dapat mencapai kesepakatan pada Agustus. Namun pemerintah pesimis, sehingga diharapkan kesepakatan bailout dapat tercapai pada September.
Pemerintah Wickremesinghe sedang mempersiapkan peta jalan kebijakan nasional untuk 25 tahun ke depan, yang bertujuan memotong utang publik dan mengubah negara menjadi ekonomi ekspor yang kompetitif. Wickremesinghe telah menekankan, Sri Lanka membutuhkan solusi jangka panjang dan landasan yang kuat untuk menghentikan terulangnya krisis ekonomi.
Dua minggu lalu, Wickremesinghe mengatakan, kesulitan ekonomi telah sedikit berkurang. Pemadaman listrik di Sri Lanka mulai berkurangnya, sementara distribusi pupuk dan gas untuk memasak mulai membaik. Namun masih banyak warga yang mengeluhkan kenaikan harga bahan pokok.
Sebagian besar harga kebutuhan pokok telah naik tiga kali lipat dalam beberapa bulan terakhir. Menurut survei UNICEF pada Mei, sekitar 70 perse rumah tangga Sri Lanka melaporkan pengurangan konsumsi makanan. Banyak keluarga bergantung pada bantuan beras pemerintah dan sumbangan amal.