REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), dan Guru Besar Hukum Lingkungan UI Prof Andri G Wibisana meminta pasal tindak pidana lingkungan hidup dihapus dari Rancangan Kitab Hukum Pidana (RKUHP). Sebab, keberadaan pasal-pasal tersebut dinilai sebagai sebuah kemunduran.
"Kami meminta kepada DPR RI dan Pemerintah untuk mengeluarkan tindak pidana lingkungan hidup dari RKUHP agar tetap menjadi tindak pidana yang diatur dalam undang-undang khusus," kata Direktur Eksekutif ICEL Raynaldo G Sembiring dalam siaran pers Walhi, Jumat (19/8/2022).
Untuk diketahui, tindak pidana lingkungan hidup diatur pada Pasal 344 dan 345 RKUHP. Pasal 344 ayat 1 berbunyi: "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup yang melebihi baku mutu lingkungan hidup dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun atau pidana denda paling banyak kategori VI".
Menurut Raynaldo, keberadaan pasal tersebut merupakan suatu kemunduran karena sulit untuk dibuktikan dan tidak akan membuat pelaku jera. Setidaknya ada tiga masalah dalam rumusan pasal tersebut.
Pertama, masih adanya unsur melawan hukum yang membuat pembuktian akan sulit, karena dapat disanggah dengan adanya izin yang dimiliki korporasi. Kedua, tidak jelasnya pengaturan baku mutu lingkungan yang dimaksud, apakah baku mutu ambien atau eflue.
Ketiga, sulitnya menjerat pelaku karena setiap kejahatan pencemaran lingkungan harus dibuktikan dulu bahwa baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan sudah terlampaui. "Selain itu, pengaturan tindak pidana lingkungan hidup dalam RKUHP akan menjadi tidak efisien karena membutuhkan pengaturan teknis yang tidak mungkin diatur dalam RKUHP," ujarnya.
Menurut Kepala Divisi Kajian dan Hukum Lingkungan Walhi Puspa Dewy, Pasal 344 dan 345 KUHP berpotensi memberikan keringanan hukuman kepada korporasi perusak lingkungan. Sebab, pasal-pasal tersebut tidak mengatur sanksi minimum.