Soal 'Amplop Kiai', Kader PPP Jatim Desak Suharso Monoarfa Mundur
Rep: Dadang Kurnia/ Red: Fernan Rahadi
Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suharso Monoarfa menyampaikan pidato sebelum menyerahkan berkas pendaftaran partai politik calon peserta Pemilu 2024 di gedung KPU, Jakarta, Rabu (10/8/2022). PPP secara resmi mendaftarkan diri sebagai salah satu calon partai peserta Pemilu 2024 ke KPU. | Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay/YU
REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pidato Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suharso Monoarfa yang menyinggung soal 'amplop kiai' pada saat pembekalan antikorupsi di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu berbuntut panjang. Meski DPP PPP sudah meminta maaf terkait pernyataan tersebut, kader PPP di Jawa Timur masih kecewa. Bahkan sejumlah kader meminta Suharso mundur dari jabatannya sebagai ketua Umum PPP.
"Pada prinsipnya kami menyesalkan ketua umum terkait pernyataan persoalan amplop kiai. Dalam fenomena ini kami mengambil sikap agar Ketua Umum (Suharso) menyelamatkan gerbong besar (PPP) ini. Oleh sebab itu beliau harus legawa mundur, kalau tidak nanti ada gerakan lebih besar lagi," kata Sekretaris Majelis Pakar DPW PPP Jatim Sudarsono Rahman, Jumat (19/8).
Sudarsono mengatakan, Suharso harus berani untuk mengakui kesalahan fatalnya, dan segera mundur. Karena menurutnya, kepemimpinan Suharso bisa merugikan partai, apalagi mendekati momen Pemilu 2024. Menurutnya, jika Suharso legawa mundur, akan berdampak positif bagi partai berlambang Kabah tersebut.
"Kalau beliau legawa mundur akan soft, proses pemenangan partai akan jalan, dan target terpenuhi, daripada gerakan demo terus terjadi. Soal siapa penggantinya itu urusan DPP, dan usulan DPW se-Indonesia, serta DPC," ujarnya.
Sudarsono menyebut, jika Suharso mundur, bukan tidak mungkin nantinya digelar Muktamar Luar Biasa untuk menyelamatkan partai. "Bisa jadi Muktamar Luar Biasa, tapi harus dihitung karena waktunya singkat menjelang pemilu 2024," kata dia.
Wakil Ketua Majelis Pertimbangan DPW PPP Jatim KH Saiful Muluk Basaiban menyebut, ucapan Suharso menyakiti para santri dan kiai. Menurutnya, budaya 'amplop kiai' atau biasa disebut bisyaroh merupakan hal biasa. Memberi hadiah ke kiai menurutnya adalah bentuk penghormatan.
"Kiai tidak pernah minta dan menekan, bedakan antara hadiah dan meminta. Sebagai seorang santri memuliakan kiai salah satunya dengan bisyaroh itu biasa, itu bentuk hormat," kata Saiful.
Pengasuh Pondok Pesantren Sidoresmo Surabaya itu mengingatkan, PPP merupakan partai berasaskan Islam. Jika Suharso melukai umat Islam, maka PPP akan berpotensi terus tenggelam. Apalagi setelah keluar pernyataan yang dianggapnya menyakiti kiai dan santri tersebut.
"Ini menyakiti, apalagi di kalangan Ponpes. Seakan-akan korupsi itu dimulai dari Ponpes, padahal Ponpes itu anti korupsi. Kalau memberi hadiah itu adalah bentuk menghormati, bentuk mencintai kita ke kiai," ujarnya.
Sekretaris Majelis Pertimbangan DPW PPP Jatim, KH Muhid Effendi juga menilai, jika Suharso mundur, maka partai akan semakin besar. Ia bahkan menyebut Suharso hanya menghambat kebesaran partai.
"Kita itu bagaimana caranya PPP menjadi partai besar. Ketika Ketum begini otomatis menganggu kebesaran PPP. Tidak diganggu saja PPP terseok-seok, apalagi diganggu. Kalau tidak legowo mundur, sama saja Suharso menghambat kebesaran PPP," ujarnya.
Pengasuh Ponpes Mahasiswa An Nur Surabaya itu berpendapat, PPP sudah masuk lubang dalam pada Pemilu 2019. Ia tidak ingin hal itu sampai terulang kembali saat Pemilu 2024. Menurutnya, jika Suharso tidak legowo mundur dan masih ngotot, itu malah membuat PPP carut marut.
"Kita minta PPP tahun 2024 minimal parliamentary threshold terlalui. Kami mendesak Suharso membesarkan PPP dengan mundur, jangan sampai PPP masuk lubang lagi," kata dia.
Wakil Sekretaris Majelis Syariah PPP, KH M Hadits menilai ucapan Suharso sudah melewati batas dan harus mendapat kartu merah. Artinya, kata dia, Suharso harus rela meninggalkan PPP. Pengasuh Yayasan Al Muthmainnah Bojonegoro ini menyebut, banyak kader PPP yang mumpuni dan lebih baik dibanding Suharso.
"Ibarat pemain bola, itu sudah offside dan kena kartu merah maka harus meninggalkan lapangan hijau. Harus malu dia dengan dirinya sendiri dan mundur," kata Hadits.