Sabtu 20 Aug 2022 09:51 WIB

Mempersiapkan Husnul Khatimah

Rasulullah memberikan perhatian yang serius terkait dengan husnul khatimah.

Ilustrasi Taubat. Seorang Muslim yang baik selalu bertaubt kepada Allah agar meraih pengakhiran yang baik (husnul khatimah).
Foto: Republika/Mardiah
Ilustrasi Taubat. Seorang Muslim yang baik selalu bertaubt kepada Allah agar meraih pengakhiran yang baik (husnul khatimah).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhammad Choirin

Setiap manusia pasti akan melewati kematian. Yang membedakannya hanyalah pada kondisi kematiaannya; ada yang baik dan ada yang buruk. Meninggal dunia dalam keadaan husnul khatimah adalah dambaan setiap Muslim. Istilah husnul khatimah terbentuk dari dua kata; al-hasan yang berarti baik dan al-khatam yang bermakna akhir. Dengan demikian husnul khatimah adalah pengakhiran hidup yang baik dengan ampuan dan ridha Allah SWT. 

Rasulullah memberikan perhatian yang serius terkait dengan husnul khatimah. Syahar bin Hausyab pernah bertanya kepada Ummul Mukminin; Ummu Salamah mengenai doa yang senantiasa dipanjatkan oleh Rasulullah. Ibunda Ummu Salamah menyebut doa tersebut adalah permintaan untuk senantiasa istiqamah dalam ketaataan. (Ya muqallibal qulub, tsabbit qalbi ala dinika). (HR Imam Bukhari) 

Dalam kesempatan lain, Rasulullah selalu berdoa untuk memohon pengakhiran yang baik. (Allahumma ahsin aqibatana fil Uumuri kulliha, wa ajirna min hizyid dunya wa adzabil akhirah) (HR Ahmad dan Ibnu Hibban) Karena keutamaan yang besar inilah, para ulama memberikan teladan, tentang usahanya yang kerasa dalam menggapai husnul khatimah dan berlindung dari su’ul khatimah. Imam al-Tsauri sebagai contoh, dalam munajatnya ia selalu menangis meratapi atas dosa masa lalunya serta mengkhawatirkan su’ul khatimah.

Abu Nu’aim al-Ashfahani dalam kitab Hilyatul Awliya wa Thabaqatul Ashfiya, merawikan satu kisah tentang seorang lelaki yang ditanya oleh Fudhail bin Iyyad tentang berapa umurnya. Si lelaki menjawab: “Umur saya 60 tahun.”  Fudhail bin Iyyad berkata: “Sesungguhnya engkau telah melakukan pengembaraan menuju Tuhanmu selama 60 tahun. Dan sebentar lagi akan sampai pada destinasi.”  Lelaki menjawab: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.”

Sang Imam menimpali: “Apakah engkau memahami tafsiran dari ucapan itu?” Lelaki menjawab: “Mohon kiranya Imam menjelaskannya kepadaku.” Sang Imam menjelaskan: “Barangsiapa yang menyadari bahwa ia adalah hamba Allah, maka semestinya ia meyakini bahwa ia akan kembali kepada-Nya. Dan barangsiapa yang akan kembali kepada-Nya, maka ia akan dihadapankan di pengadilan mahkamah. Barangsiapa berada di mahkamah, maka ia akan dimintai pertanggungjawaban. Dan barangsiapa yang menyadari bahwa ia akan dimintai pertanggungjawaban, maka hendaklah ia menyiapkan jawabannya.”

Mendengar penjelasan Fudhail bin Iyyad, lelaki tersebut menyelidik. “Jika demikian, bagaimana solusinya Tuan Imam?”  Fudhail menjawab: “Solusinya mudah saja. Perbaiki amalan di sisa usia yang ada, niscaya kamu akan mendapat ampunan atas kesalahan masa lalu. Namun jika engkau mensia-siakan waktu yang tersisa, sungguh kamu akan dihukum atas semua perbuatan; baik masa lalu ataupun masa yang akan datang.” (al-Asfahani; Hilyatul Awliya, 8/113). 

Selain memperkuat doa dan pengharapan kepada Allah, menyiapkan khusnul khatimah dapat dilakukan dengan senantiasa istikamah dalam kebaikan. Lebih dari itu, selalu berusaha memperbaiki amal di usia tersisa merupakan kunci utama dalam meraih penghakhiran hidup yang baik, hingga memperoleh ampunan dan ridha Allah. Wallahu a’lam bish shawab.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement