REPUBLIKA.CO.ID, NAY PYI TAW -- Pemimpin junta Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing mengatakan, ia akan mempertimbangkan untuk menempatkan mantan pemimpin de facto negara tersebut, Aung San Suu Kyi, dalam tahanan rumah. Sejak pemerintahannya digulingkan militer pada Februari tahun lalu, Suu Kyi menghadapi sejumlah dakwaan, termasuk korupsi. Saat ini dia sudah menerima vonis 17 tahun penjara.
“Saya akan mempertimbangkan masalah ini (penempatan Suu Kyi dalam tahanan rumah) setelah putusan selesai. Kami tidak memaksakan tuduhan kuat padanya dan menunjukkan belas kasihan meskipun kami dapat melakukan lebih banyak,” kata Jenderal Min Aung Hlaing dalam sebuah pernyataan yang dibacakan televisi pemerintah Myanmar, Jumat (19/8/2022).
Pernyataan tertulis Min Aung Hlaing itu muncul sebagai tanggapan atas permintaan yang dibuat Utusan Khusus PBB untuk Myanmar Noeleen Heyzer. Pada Rabu (17/8) lalu, dia berkunjung ke Myanmar dan bertemu dengan Min Aung Hlaing. Pada kesempatan itu, Heyzer meminta Min Aung Hlaing agar mengizinkan Suu Kyi pulang.
Pemerintahan sipil Myanmar yang dipimpin Aung San Suu Kyi digulingkan militer Myanmar pada Februari tahun lalu. Selain Suu Kyi, militer turut menangkap Presiden Myanmar Win Myint dan sejumlah tokoh National League for Democracy (NLD), yakni partai yang dipimpin Suu Kyi. Sejak ditahan, junta Myanmar menggugat Suu Kyi dengan sejumlah dakwaan, antara lain melakukan kecurangan pemilu, korupsi, melanggar undang-undang bencana alam terkait pandemi Covid-19, dan kepemilikan walkie-talkie ilegal.
Dakwaan terhadap Suu Kyi dipandang tak berdasar dan bermotif politis. Ketika pemerintahan Suu Kyi dikudeta militer, rakyat Myanmar menggelar demonstrasi besar-besaran. Mereka menolak dan menentang kudeta tersebut. Gelombang unjuk rasa menjalar ke segenap wilayah Myanmar.
Alih-alih mengakomodasi tuntutan, militer Myanmar justru merespons aksi unjuk rasa itu dengan aksi represif dan brutal. Lebih dari 2.100 orang dilaporkan tewas dan hampir 15 ribu lainnya ditangkap selama demonstrasi berlangsung.