REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Syamsul Yakin
Saleh adalah kata serapan dari bahasa Arab yang berarti taat. Taat sendiri tak lain kata serapan dari bahasa Arab juga yang sudah dibakukan dalam bahasa Indonesia. Makna saleh yang paling pas adalah sungguh-sungguh beribadah, baik wajib maupun sunah.
Dalam keseharian sering disebut saleh ritual untuk mengatakan ketaatan beribadah kepada Allah seperti shalat dan saleh sosial yang maksudnya berbuat baik kepada sesama, seperti memberi makan orang yang sedang kelaparan.
Terkait soal ini, Abu Laits dalam Tanbihul Ghafilin mengutip pengakuan Syaqiq al-Balkhi yang ditanya oleh seseorang. Ceritanya, orang itu bilang, "Publik menyebutku sebagai orang saleh. Menurutmu, bagaimana aku tahu kalau aku saleh atau tidak saleh?"
Syaqiq yang memang sebagai pengamal tasawuf menjawab, pertama, "Tampakkanlah amal yang kamu sembunyikan di hadapan orang-orang saleh. Apabila mereka menyukai amal itu, maka ketahuilah bahwa kamu termasuk saleh, namun apabila tidak, kamu tidak saleh".
Jawaban taktis-filosofis yang sangat elegan ini dapat dimaknai dengan dua hal. Pertama, apabila amal yang disembunyikan selama ini adalah kebaikan, kemudian diperlihatkan di hadapan orang-orang saleh tentu hal ini akan membuat mereka suka. Misalnya ibadah wajib dan sunah yang tak diketahui orang. Termasuk ibadah sosial dengan cara sembunyi-sembunyi seperti memberi makan orang yang sedang kelaparan.
Kedua, apabila yang disembunyikan selama ini adalah amal yang penuh dosa, seperti berzina, berjudi, meminum khamar, dan amal munkarat lainnya lalu ditampakkan di hadapan orang-orang saleh, tentu mereka tidak menyukainya. Jadi sangat mudah untuk menjawab pertanyaan, apakah saya saleh? Silakan tampakkan amal yang Anda sembunyikan selama ini.
Kedua, menurut Syaqiq, ulama yang berguru kepada Imam Abu Hanifah dan Ibrahim bin Adham ini, untuk mengetahui apakah kamu saleh atau tidak, "Palingkanlah dunia dari hatimu, apabila hatimu bersedia menolak dunia, maka ketahuilah bahwa kamu saleh".
Jawaban kedua ini tidak hendak menganjurkan agar kaum Muslim menolak dunia serta isinya seperti harta dan tahta dalam kehidupan. Namun jawaban Syaqiq yang kedua ini mengajarkan agar hati manusia tidak lebih condong kepada dunia ketimbang akhirat.
Hati yang menolak dunia tidak harus menjadi miskin. Hati yang menolak dunia bisa jadi malah menjadi kaya. Sebab hati yang menolak dunia tidak terkait dengan ada atau tidak adanya harta yang dimiliki, tapi terletak pada bagaimana memandang dunia sebagai amanah, untuk ibadah, dan harus didistribusikan kepada yang berhak menerimanya.
Ketiga, kata Syaqiq, ulama asketis yang wafat pada 810 Masehi ini, agar kamu tahu dirimu saleh atau tidak, "Hadapkan kematian pada dirimu, apabila kamu mengharapkannya, maka ketahuilah bahwa kamu saleh. Namun apabila hatimu tidak berharap akan kematian yang bersifat pasti terjadi, maka kamu bukan orang saleh.”
Jawaban ketiga Syaqiq ini bukan agar kaum Muslim memilih kematian ketimbang kehidupan. Namun Syaqiq memberi petuah agar hati dipersiapkan untuk menerima kematian dengan banyak bertobat dan berbuat baik.
Hati yang menerima kematian, sejalan dengan titah Allah, "Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh" (QS. al-Nisaa/4: 78). Begitu juga ayat, "Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya" (QS. al-A'raf/7: 34).
Sebenarnya orang yang menganggap dirinya saleh tanpa pernah mengonfirmasi dengan apa yang diungkap Syaqiq bisa dikatakan mengalami gangguan mental. Ketiga petuah Syaqiq di atas dapat juga dikatakan sebagai salah satu cara melakukan uji klinis-psikologis untuk membuktikan seseorang saleh atau tidak.