Selasa 23 Aug 2022 05:01 WIB

Pemerintah Diminta Segera Ganti KUHP Produk Kolonial

Aliansi BEM Nusantara menilai RKUHP saat ini sudah cukup ideal.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Bayu Hermawan
Ilustrasi RKUHP
Foto: mgrol100
Ilustrasi RKUHP

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aliansi BEM Nusantara meminta pemerintah segera mengganti KUHP produk kolonial dengan konstitusi yang lebih modern. Pemerintah kini memang tengah menggodok RKUHP pengganti KUHP yang digunakan saat ini yang merupakan peninggalan Belanda.

"Jadi, RKUHP yang sedang digodok saat ini sudah cukup ideal dan merupakan produk hukum nasional yang perlu kita dukung untuk disahkan, agar KUHP produk kolonial yang ada saat ini bisa segera digantikan," kata Koordinator Pusat BEM Nusantara, Ahmad Supardi dalam keterangan, Senin (22/8).

Baca Juga

Hal tersebut dia sampaikan dalam diskusi bedah RKUHP. Dia menjelaskan, diskusi dibuat untuk menjawab rasa tidak puas sebagian elemen masyarakat atas sejumlah pasal dalam RKUHP yang rencananya akan disahkan DPR dalam waktu dekat.

Ardy menyampaikan, ada 14 pasal yang dinilai masih diawarnai pro-kontra, salah satunya ialah Pasal 218 dan Pasal 219 tentang Tindak Pidana terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Dia mengatakan, sebagian publik menilai pasal ini bertentangan dengan demokrasi karena menghalangi kritik kepada pemerintah.

Lebih lanjut, Ardy menegaskan bila ada pasal dalam RKUHP yang tidak sesuai dengan Demokrasi Pancasila maka BEM Nusantara akan menggunakan pendekatan persuasif dan mengedepankan diskusi untuk pembahasannya lebih lanjut di lembaga legislatif sebagai pembuat undang-undang.

"Perlu digarisbawahi kita juga wajib menolak jika dalam pasal-pasal tersebut ada kekeliruan. Masukan dari kita juga wajib didengarkan oleh lembaga legislatif; mereka tentu mau menerima kami supaya ada penyampaian alasan kenapa pasal dalam RKUHP tersebut ditolak," katanya.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Benny Riyanto menyebut RKUHP baru sudah sangat ideal untuk menggantikan KUHP peninggalan Belanda. Menurutnya, RKUHP ini telah mengikuti pergeseran paradigma dalam ajaran hukum pidana sesuai perkembangan zaman.

Dia menjelaskan paradigma yang dimaksud yakni keadilan retributif (balas dendam dengan penghukuman badan), menjadi paradigma keadilan yang mencakup prinsip-prinsip keadilan korektif (bagi pelaku), restoratif (bagi korban) dan rehabilitatif (bagi keduanya).

Benny juga memastikan selama penyusunan RKUHP, pemerintah sudah banyak melaksanakan sosialisasi dan menyerap aspirasi masyarakat dari berbagai provinsi melalui kegiatan diskusi dan seminar (meaningful participation). Dia mengatakan, hasilnya dari 14 isu kontroversial, Pemerintah sepakat menurunkan dua isu yakni Advokat Curang dan Dokter gigi yang praktek tanpa izin.

Dia menjelaskan, dalam meaningful participation ada tiga unsur yang harus dipenuhi yakni hak didengar, hak mendapatkan penjelasan dan hak untuk dipertimbangkan. Menurutnya, ketiga hal tersebut telah dilaksanakan pemerintah sehingga ada dua isu yang diakomodir dan dikeluarkan diatur dalam regulasi lain.

"Dan juga ada beberapa perbaikan redaksional dan ini menarik sehingga harapannya RKUHP yang sekarang sudah masuk di DPR ini adalah UU yang sudah kompromi dengan semua masukan masyarakat, sesuai dengan asas meaningful participation," katanya.

Mantan Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham itu menanggapi isu soal Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden yang terdapat dalam RKUHP. Menurutnya, sebuah kritik disampaikan berikut dengan solusi dan masukannya.

Dia mengatakan, kritik juga berasal dari data, fakta dan ada perbaikan yang diinginkan pengkritik. Sementara penghinaan merupakan perkataan yang bersifat mencela orang lain sehingga menyebabkan kerugian.

"Menurut saya mahasiswa harus bisa membedakan kedua hal tersebut. Namanya negara demokrasi itu memang harus bisa menerima kritik tapi bukan yang sifatnya kerugian," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement