Selasa 23 Aug 2022 16:37 WIB

Webinar UII: Pernikahan Beda Agama tidak Sah Merujuk UU Perkawinan 

Pernikahan beda agama tidak sah menurut hukum Islam dan negara.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi pernikahan. Pernikahan beda agama tidak sah menurut hukum Islam dan negara
Foto: Pixabay
Ilustrasi pernikahan. Pernikahan beda agama tidak sah menurut hukum Islam dan negara

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN – Keberagaman agama dan kepercayaan di Indonesia membawa konsekuensi salah satunya adalah perkawinan antara mereka yang berbeda agama atau keyakinan. 

Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Dr Sri Hastuti Puspitasari, mengatakan, sampai saat ini, perkawinan beda agama cukup mendapat sorotan dari masyarakat, baik masyarakat akademis, umum maupun masyarakat pemuka agama. 

Baca Juga

Menurut Sri, persoalan ini tidak bisa dianggap hanya implikasi dari sifat plural Indonesia. Maka itu, dia menekankan, perlu dipikirkan secara serius karena problematika tersebut dapat berimplikasi kepada persoalan-persoalan hukum. 

Sri mengingatkan, perkawinan yang memang bingkainya ranah privasi, harus ditarik ke ranah publik.

"Karena, mendorong negara untuk mengeluarkan regulasi terkait persoalan perkawinan beda keyakinan," kata Sri dalam webinar yang digelar Departemen Hukum Perdata dan Pusat Studi Hukum Islam (PSHI) Fakultas Hukum UII, Selasa (23/8/2022).

Dosen FH UII, Bagya Agung Prabowo menuturkan, sebelum berlakunya UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan, perkawinan beda kepercayaan memang termasuk jenis perkawinan campuran yang diatur dalam Regeling op de Gemengde Huwelijk stbl. 1898 No. 158.

Biasanya, disingkat dengan GHR. Dalam Pasal 1 GHR ini disebutkan perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan. Namun, berbeda ketika Undang-Undang Perkawinan berlaku.

"Perkawinan beda kepercayaan bukan lagi termasuk dalam perkawinan campuran, sehingga akhirnya menjadi polemik tersendiri," ujar Bagya.

Baca juga: Seberapa Parahkah Salman Rushdie Hina Islam dan Rasulullah SAW dalam Ayat-Ayat Setan?

UU Perkawinan tidak mengatur jelas perkawinan beda kepercayaan, membuatnya jadi relatif sulit. Dalam UU Perkawinan Pasal 2 disebutkan kalau perkawinan itu sah terjadi bila dilaksanakan menurut agama dan kepercayaan masing-masing. 

"Sehingga, perkawinan yang dilaksanakan tidak berdasarkan hukum agama dianggap tidak sah," kata Bagya. 

Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Bantul, Bambang Purwadi, menerangkan perkawinan masuk Dukcapil yang bertugas mendaftar setiap peristiwa kependudukan dan setiap peristiwa penting sebab, membawa perubahan ke KK, KTP, dan surat lain.

"Lingkup kewenangan Disdukcapil mencatat adanya peristiwa penting, kejadian yang dialami seseorang mulai kelahiran kemudian kematian, pengakuan anak, pengesahan anak, perubahan status dan juga peristiwa perkawinan," ujar Bambang. 

Ketua Pengadilan Negeri Yogyakarta, Muhammad Djauhar Setyadi, memberi gambaran ketika hakim mencoba untuk memeriksa perkara atau permohonan perkawinan beda agama. Penetapan diberikan kepada perkara permohonan atau yurisdiksi volunter. 

"Kewenangan memeriksa dan mengabulkan permohonan bila itu ditentukan peraturan perundang-undangan. Penetapan ini dapat diajukan sebagai upaya hukum kasasi," kata Djauhar. 

Permohonan dalam konteks perkawinan untuk memperoleh izin melaksanakan kawin beda agama yang bersifat kepentingan sepihak semata tanpa sengketa pihak lain. Ada beberapa pertimbangan hakim yang dijadikan dasar dalam membuat penetapan. 

Permohonan harus memiliki dasar hukum yang diatur peraturan perundangan. Tidak bertentangan kompetensi absolut dan kompetensi relatif pengadilan, fundamentum petendi ada hubungan hukum antara pemohon dengan permasalahan hukum dimohonkan. 

 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement