REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahmad bin Muhammad bin Ajibah al-Hasani dalam Iqazh al- Himam Fi Syar al-Hikam mengemukakan ada empat adab yang dilakukan ketika memanjatkan doa.
Pertama, niat berdoa adalah ibadah. Berdoa merupakan bentuk pengabdian, artinya doa mesti bersifat meminta, bukan menuntut.
Hal itu karena ketetapan menyangkut seseorang telah tertulis sejak zaman azali. Bahkan, sebelum permintaan mereka dipanjatkan. Tetapi, Allah berkuasa untuk memberi, menahan, dan menolak permintaan hamba-Nya.
Kedua, pengajuan doa harus dibarengi dengan ibadah yang tekun. Mengharap surga, pahala, dan kedudukan yang tinggi bisa tercapai bila kualitas ibadah semakin baik. Tidak dikotori dengan ragam perusak amal, seperti riya, ujub, dan tergesa-gesa.
Bila demikian, ibadah pun tidak sempurna. Bahkan, bisa tertolak di sisi-Nya. Ibadah yang bukan karena Allah bisa dikategorikan sebagai penyekutuan Allah dengan makhluk-Nya.
“Dan, itu termasuk dosa besar,” kata al-Hasani.
Ketiga, bersikap pasrah dan menyerahkan diri kepada Allah. Doa akan mendapatkan setidaknya tiga respons yang berbeda. Terkabul lantaran memang baik untuknya. Kedua, penundaan karena belum membutuhkan dan dapat diganti dengan yang lain atau diberikan saat di akhirat. Dan ketiga, penolakan sebab akan berdampak mudharat pada yang bersangkutan.
Keempat, ketika doa telah terkabul maka apa yang telah diminta harus digunakan dengan sebaik-baiknya. Apa yang telah dikabulkan harus ditujukan pada perbuatan baik yang diridhai oleh Allah.
Dan, adab tidak terbatas pada persoalan personal dan transendental. Tetapi, juga mencakup tata krama berinteraksi dengan sesama. Tentu berbeda antara adab terhadap Allah dan Rasul-Nya dan adab kepada guru, murid, orang tua, atau tetangga, misalnya.