Selasa 23 Aug 2022 20:22 WIB

Pendukung Motada Al Sadr Berpindah Duduki Dewan Kehakiman Tertinggi Irak

Terjadi kebuntuan politik dalam pembentukan pemerintahan baru di Irak

Rep: Mabruroh/ Red: Nashih Nashrullah
Ulama syiah Irak Moqtada al-Sadr. Terjadi kebuntuan politik dalam pembentukan pemerintahan baru di Irak
Foto: REUTERS/Alaa al-Marjani
Ulama syiah Irak Moqtada al-Sadr. Terjadi kebuntuan politik dalam pembentukan pemerintahan baru di Irak

REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD — Pengikut ulama Syiah Irak Moqtada Al Sadr mulai pindah ke Dewan Kehakiman Tertinggi di dalam Zona Hijau Baghdad pada Selasa (23/8/2022). Mereka mendirikan tenda di luar gedung dalam eskalasi kebuntuan politik 10 bulan atas pembentukan pemerintah baru. 

Para pengunjuk rasa berpakaian hitam memegang bendera Irak dan meneriakkan slogan-slogan pro-Al Sadr, ketika truk pikap membawa tenda di luar gerbang utama.  

Baca Juga

Dilansir dari The National News, Selasa (23/8/2022), sebuah spanduk bertuliskan “Tuntutan utama kami adalah membubarkan parlemen dan memerangi korupsi dan para koruptor." 

Irak mengadakan pemilihan awal pada 10 Oktober 2021, sebagai tanggapan atas salah satu tuntutan inti dari gerakan protes pro-reformasi nasional yang dimulai pada 2019 di bagian tengah dan selatan negara itu. 

Pemilihan itu merupakan pemungutan suara parlemen kelima untuk pemerintahan jangka penuh sejak invasi pimpinan Amerika Serikat 2003 yang menggulingkan Saddam Hussein. 

Sejak itu, persaingan sengit di antara elit Politik terjadi, terutama di antara mayoritas Syiah di negara itu, telah menunda proses pembentukan pemerintahan. 

Ketika ketegangan meningkat di antara blok-blok politik yang berlawanan, ada kekhawatiran bahwa negara itu dapat tergelincir ke dalam perselisihan intra-sektarian. 

Selama berpekan-pekan, para pengikut Al Sadr memprotes di luar gedung Parlemen, menuntut pembubaran badan legislatif dan diadakannya pemilihan cepat.

Mereka menjauh dari gedung Dewan Kehakiman Tertinggi untuk menghindari kritik.

Saingan Al Sadr yang didukung Iran, sedang mencari peran utama dalam membentuk pemerintahan.

Awal bulan ini, Al Sadr menuntut pengadilan negara itu membubarkan parlemen pada akhir pekan lalu dan menetapkan tanggal untuk pemilihan awal atau menghadapi konsekuensi yang tidak spesifik.

Tetapi Dewan Kehakiman Tertinggi menolak permintaan itu, dengan mengatakan bahwa mereka tidak memiliki kekuatan untuk melakukannya.

Konstitusi negara mengharuskan pemungutan suara yang disahkan oleh mayoritas mutlak untuk membubarkan parlemen dan suara itu hanya dapat diminta oleh sepertiga legislator, atau oleh perdana menteri, dengan persetujuan presiden.

Namun, Al Sadr membenarkan seruannya untuk tindakan yudisial dengan mencatat bahwa tenggat waktu konstitusional untuk penunjukan presiden dan perdana menteri baru telah terlewatkan setelah pemilihan tahun lalu. 

Dia meminta para pendukungnya untuk mengajukan tuntutan hukum atas masalah ini ke Mahkamah Agung Federal.

 

Sumber: thenationalnews   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement