REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Syamsul Yakin
Ibadah laksana kaca, demikian ungkap al-Wasithi seperti ditulis Abu Laits dalam kitab Tanbihul Ghafilin. Maksudnya, ibadah laksana kaca sebab mudah pecah. Kalau sudah pecah tidak bisa lagi dipatri. Inilah yang dikatakan al-Wasithi bahwa menjaga ibadah itu lebih sulit ketimbang mengerjakannya.
Bagi al-Wasithi, ada dua perilaku ahli ibadah yang membuat ibadah mudah pecah laksana kaca. Pertama, riya. Riya itu ingin dilihat, dipandang, dan dipublikasikan di media konvergensi. Orang riya umumnya suka akan pujian manusia. Orang riya kerap menyembunyikan keburukan dan menampilkan kebaikan. Seperti halnya kaca yang mudah pecah, ibadah akan hancur berkeping-keping tidak berpahala apabila disentuh riya.
Kedua, ibadah akan pecah seperti kaca menjadi butiran kristal apabila disentuh ujub. Ujub, bagi Syaikh Nawawi dalam Nashaihul Ibad, adalah merasa memiliki keutamaan dalam hal ilmu, ketampanan, dan kekayaan. Ibadah macam apa saja apabila tersentuh ujub akan hancur berantakan dan tidak bernilai lagi, baik di hadapan manusia di dunia ini, apalagi di hadapan Allah kelak di akhirat.
Terkait hancurnya ibadah yang laksana kaca di akhirat kelak, Abu Laits mengutip hadits Nabi yang bersumber dari Abu Hurairah, “Sesungguhnya manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, "Amal apakah yang kamu lakukan dengan nikmat-nikmat itu?" Ia menjawab, "Aku berperang semata-mata karena-Mu hingga aku mati syahid."
Allah berfirman, "Kamu dusta. Kamu berperang supaya dikatakan sebagai orang yang gagah berani. Memang demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu)." Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret muka orang itu, lalu dilemparkan ke neraka.
Berikutnya orang (yang diadili) adalah orang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca Alquran. Didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya, "Amal apakah yang telah kamu lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?" Ia menjawab, "Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya, serta aku membaca Alquran hanya demi-Mu."
Allah membantah, "Kamu dusta. Kamu menuntut ilmu agar dikatakan sebagai orang alim (yang berilmu) dan kamu membaca Alquran supaya dikatakan sebagai qari’ (pembaca Alquran yang indah). Memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu)." Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret mukanya dan melemparkannya ke neraka.
Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan, maka ia pun mengenalinya (mengakuinya). Allah bertanya, "Apa yang kamu telah lakukan dengan nikmat-nikmat itu?" Dia menjawab, "Aku tidak pernah meninggalkan sedekah dan infak di jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena-Mu."
Allah membantah, "Kamu dusta. Kamu berbuat yang demikian itu supaya dikatakan sebagai orang dermawan (murah hati) dan memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu)." Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya mukanya dan melemparkannya ke neraka.
Dari sini kita harus senantiasa waspada agar ibadah kita seperti sedekah, membaca Alquran, belajar dan mengajar tidak tersentuh riya yang akan pecah laksana kaca. Kalau sudah pecah, seperti terungkap dalam hadits Nabi di atas, tidak akan memberi manfaat apa-apa. Pelakunya malah dilempar ke neraka karena dianggap telah berbohong dan menipu Allah.