REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para produsen pupuk organik terancam harus menutup pabriknya usai pemerintah tak lagi memberikan pupuk organik bersubsidi kepada petani. Akibatnya, limbah kotoran ternak yang selama ini digunakan sebagai bahan baku pembuatan pupuk terbengkalai.
Persoalan itu salah satunya terjadi Blitar, Jawa Timur, yang menjadi sentra peternakan unggas nasional. Ketua Paguyuban Supplier Pupuk Organik Blitar, Yudi Prayitno, mengatakan, setidaknya tercatat 15 juta ekor populasi ayam di Blitar dan menghasilkan banyak limbah.
"Dari situ, per 2.000 ekor menghasilkan 15 ton limbah, dari total siklus hidup itu makan waktu 1,5-2 tahun dan terkumpul 112 juta kilogram (112 ribu ton) limbah kotoran ayam," kata Yudi dalam Rapat Dengar Pendapat Umum di Komisi IV DPR, Kamis (25/8/2022).
Ia menuturkan, dengan keberadaan industri pupuk organik, limbah ternak yang dihasilkan dapat terserap karena digunakan untuk bahan baku. "Simbiosis peternak ayam dengan kami sudah berjalan dengan baik karena limbah teratasi, kami dapat pekerjaan, pupuk pertanian tersedia," katanya.
Yudi menambahkan, akibat kebijakan pemerintah yang tak lagi memberikan pupuk organik bersubsidi kepada petani, pengelolaan limbah ternak terganggu. Pasalnya, peternak yang ingin memulai siklus produksi ayam harus membersihkan seluruh limbahnya terlebih dahulu.
"Akibat ini mereka terganggu, kami tidak bisa menjalankan (menyerap limbah) dengan berhentinya produksi pupuk organik," katanya.
Sementara itu, Wawan Ginanjar, salah satu Ketua Kelompok Tani di Jawa Barat yang mengolah limbah ternak mengaku, kehilangan pekerjaan akibat kebijakan pencabutan subsidi itu. Ia mengolah limbah peternakan di Garut, Bandung, Subang, dan Cianjur dengan melibatkan ratusan pekerja.
"Sekarang tidak ada order dari pabrik jadi mata pencaharian kami mandek saat ini," ujarnya.
Himpunan Mitra Produksi Organik (Himpo) menuturkan ratusan pabrik pupuk organik terancam tutup dan bahkan menyebabkan ribuan pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat kebijakan pemerintah yang menghentikan alokasi pupuk organik bersubsidi. Himpo meminta DPR dan pemerintah mengkaji ulang kebijakan tersebut.
Ketua Himpo, Parto, menuturkan, terdapat 143 pabrik pupuk organik di Indonesia. Adapun yang menjadi anggota Himpo sebanyak 105 pabrik.
Menurutnya, pabrikan pupuk organik telah menyerap sekitar 30 ribu tenaga kerja langsung. Di luar itu, ada tenaga kerja tidak langsung yang menjadi penyuplai hingga pengepul bahan baku untuk pabrik.
"Kita hitung total ada 60 ribu tenaga kerja yang bekerja bersama kami. Jika tidak ada lagi subsidi organik, otomatis pabrik kami tutup, haruskan kita biarkan mereka terlantar?" kata Parto.
Parto mengatakan, penggunaan pupuk organik pun amat dibutuhkan saat ini. Pasalnya, kandungan organik tanah semakin rendah di bawah 2 persen diambang kritis. Itu akibat penggunaan pupuk kimia bersubsidi yang sudah berlangsung puluhan tahun. Ia menyebut, dalam jangka waktu 10-15 tahun ke depan, tanah sawah terancam menjadi tandus jika tanah tak dipulihkan.
Diketahui, kebijakan pupuk bersubsidi terbaru diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 10 Tahun 2022. Di mana, pemerintah hanya akan mengalokasikan subsidi untuk pupuk Urea dan NPK dari sebelumnya ada lima jenis pupuk, termasuk organik.