REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Himpunan Mitra Produksi Organik (Himpo) menuturkan ratusan pabrik pupuk organik terancam tutup dan menyebabkan ribuan pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat kebijakan pemerintah yang menghentikan alokasi pupuk organik bersubsidi. Himpo meminta DPR dan pemerintah mengkaji ulang kebijakan tersebut.
Ketua Himpo, Parto, menuturkan, terdapat 143 pabrik pupuk organik di Indonesia. Adapun yang menjadi anggota Himpo sebanyak 105 pabrik. Pabrik pupuk organik bukan merupakan perusahaan yang menginduk tapi dikelola investor lokal di berbagai provinsi. Pabrik pupuk organik juga termasuk ke dalam UMKM.
Menurut dia, pabrikan pupuk organik telah menyerap sekitar 30 ribu tenaga kerja langsung. Di luar itu, ada tenaga kerja tidak langsung yang menjadi penyuplai hingga pengepul bahan baku untuk pabrik.
"Kita hitung total ada 60 ribu tenaga kerja yang bekerja bersama kami. Jika tidak ada lagi subsidi organik, otomatis pabrik kami tutup, haruskan kita biarkan mereka terlantar?" kata Parto.
Diketahui, kebijakan pupuk bersubsidi terbaru diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 10 Tahun 2022. Di mana, pemerintah hanya akan mengalokasikan subsidi untuk pupuk Urea dan NPK dari sebelumnya ada lima jenis pupuk, termasuk organik.
Parto menambahkan, selain berdampak pada ekonomi, kebijakan tersebut juga memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Ia menuturkan, ribuan ton limbah yang menjadi bahan baku utama bisa terbengkalai jika pabrik tutup.
Sejauh ini pembuatan pupuk organik menggunakan limbah kotoran ayam dan sapi, limbah pabrik gula hingga limbah pabrik gula yang difermentasi. Keberadaan pabrik pupuk organik, dinilainya telah membantu para peternak dalam mengelola limbah yang dihasilkan.
"Kalau kita tidak bisa melakukan ini, akan dibuang kemana limbahnya? Mesti salah satunya dibuang ke sungai atau tempat yang bisa menganggu masyarakat," katanya.
Parto mengatakan, penggunaan pupuk organik pun amat dibutuhkan saat ini. Pasalnya, kandungan organik tanah semakin rendah di bawah 2 persen diambang kritis. Itu akibat penggunaan pupuk kimia bersubsidi yang sudah berlangsung puluhan tahun. Ia menyebut, dalam jangka waktu 10-15 tahun ke depan, tanah sawah terancam menjadi tandus jika tanah tak dipulihkan.
Oleh karena itu, Parto meminta DPR dan Kementerian Pertanian untuk dapat mengkaji ulang kebijakan tersebut. Himpo mencatat, alokasi kebutuhan pupuk organik setiap tahunnya sekitar 500 ribu ton dengan kebutuhan anggaran Rp 1 triliun.
"Kebutuhannya hanya Rp 1 triliun dari alokasi anggaran pupuk subsidi Rp 27 triliun. Apa kita tidak bijaksana meluangkan Rp 1 triliun untuk kepentingan orang banyak?" ujarnya.