REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA – Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) menyerukan masyarakat internasional mengambil tindakan segera guna memastikan pembangunan jangka panjang dan bantuan kemanusiaan berkelanjutan bagi pengungsi Rohingya. Hal itu disampaikan dalam momen peringatan lima tahun kaburnya ratusan ribu masyarakat Rohingya dari Myanmar ke Bangladesh.
“Hampir 1 juta pengungsi tetap berada di kamp-kamp yang padat. Lebih dari setengahnya adalah anak-anak. Meskipun Bangladesh telah dengan murah hati menampung pengungsi Rohingya selama lima tahun terakhir, satu negara tidak dapat dan tidak boleh memikul tanggung jawab ini sendirian,” kata IOM di situs resminya, Rabu (24/8/2022).
IOM mengungkapkan, aktor kemanusiaan internasional dan lokal harus terus mendukung respons yang dipimpin pemerintah Bangladesh. Hal itu guna memungkinkan pengungsi Rohingya menjalani kehidupan bermartabat saat berada di pengungsian
IOM mengatakan, karena akses mencari nafkah terbatas, para pengungsi Rohingya di Bangladesh bergantung sepenuhnya pada bantuan kemanusiaan. “Kelompok atau orang dengan kebutuhan khusus, seperti penyandang disabilitas, kepala rumah tangga perempuan, atau orang yang tidak memiliki akses ke peluang mata pencaharian, melaporkan kebutuhan paling signifikan yang tidak terpenuhi, membuat mereka rentan terhadap strategi penanggulangan negatif, seperti penyelundupan manusia dan perdagangan manusia,” ungkap IOM.
Menurut IOM, sejauh ini mereka telah mengidentifikasi dan membantu lebih dari 1.300 pengungsi Rohingya yang korban perdagangan manusia. Pada 16 Agustus lalu, Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) PBB Michelle Bachelet melakukan kunjungan perdana ke kamp-kamp pengungsi Rohingya di Cox’s Bazar, Bangladesh. Selain meninjau kehidupan di sana, dia turut bertemu dengan perwakilan masyarakat sipil dan pengungsi Rohingya.
“Diperkirakan 1,1 juta orang Rohingya berada di Bangladesh sekarang, yang berarti Cox’s Bazar. Beberapa (pengungsi) di antaranya di Bhashan Char,” kata Bachelet, dikutip laman UN News.
Dalam kunjungannya, Bachelet bertemu dengan para pemimpin agama serta kelompok perempuan dan pemuda dari pengungsi Rohingya. “Mereka menggambarkan keluhan mereka, rasa sakit mereka, bagaimana mereka pergi dan kehilangan semua yang mereka miliki, (termasuk) mata pencaharian mereka serta orang-orang terkasih,” ucapnya.
Dua remaja pengungsi Rohingya yang masing-masing berusia 15 tahun dan 18 tahun mengutarakan harapan mereka untuk kembali ke Myanmar kepada Bachelet. Mereka pun ingin memperoleh status warga negara. “Ketika hak-hak kami dihormati, kami dapat memiliki mata pencaharian kami lagi, dan kami dapat memiliki tanah, dan kami dapat merasa bahwa kami adalah bagian dari negara,” kata Bachelet menceritakan percakapan mereka.
Dia menegaskan kembali pentingnya terus memastikan kondisi yang aman dalam setiap pemulangan pengungsi Rohingya ke Myanmar. Hal itu pun harus dilakukan secara sukarela dan bermartabat. “PBB melakukan yang terbaik yang kami bisa untuk mendukung mereka. Kami akan terus melakukan itu,” ujarnya.
Pada Agustus 2017, lebih dari 700 ribu Rohingya melarikan diri dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar, dan mengungsi ke Bangladesh. Hal itu terjadi setelah militer Myanmar melakukan operasi brutal untuk menangkap gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Warga sipil ikut menjadi korban dalam operasi tersebut. Selain membakar permukiman, militer Myanmar dilaporkan turut memperkosa perempuan-perempuan Rohingya dan membantai para lelaki dari etnis tersebut.
Masifnya arus pengungsi ke wilayah perbatasan Bangladesh segera memicu krisis kemanusiaan. Para pengungsi Rohingya terpaksa harus tinggal di tenda atau kamp dan menggantungkan hidup pada bantuan internasional.