REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Seorang pengungsi Rohingya berusia 15 tahun membangun ekskavator hidrolik skala kecil. Mohammad Toyub menciptakan alat tersebut dari suku cadang yang dikumpulkan di sekitar pengungsian yang menjadi tempat tinggalnya di Bangladesh.
Toyub menggunakan jarum suntik plastik besar sebagai pompa untuk memanipulasi ekskavator. Toyub menguji perangkatnya dengan mengangkat butir beras dari piring yang diletakkan di lantai gedung sekolah di kamp pengungsian. Sementara anak-anak kecil menyaksikan uji coba tersebut.
“Ketika saya di Myanmar saya melihat sebuah ekskavator menggali dan saya terinspirasi untuk membuat mainan seperti ekskavator ini,” kata Toyub.
"Setelah datang ke Bangladesh, saya mengumpulkan beberapa potongan kecil baja dan saya membuat bagian yang berbeda. Saya menemukan jarum suntik untuk menggerakkan mainan naik dan turun, lalu saya menerapkan mekanisme ini ke mainan," ujar Toyub menambahkan.
Toyub mengenyam pendidikan dasar di Myanmar selama beberapa tahun, sebelum dia dan keluarganya melarikan diri ke Bangladesh pada 2017. Sejak itu, Toyub mengikuti beberapa kelas yang disediakan oleh UNICEF di kampnya. Tetapi sekolahnya ditutup karena pandemi Covid-19. kata ayahnya Din Mohammed.
“Saya merasa sangat senang melihatnya melakukan ini karena dia juga bahagia. Sekarang kami menjadi pengungsi dan saya tidak punya banyak uang agar dia menerima pendidikan yang baik sehingga dia dapat mencapai hal-hal yang lebih baik," kata ayah Toyub, Din Mohammad.
Di Myanmar, Rohingya direndahkan sebagai imigran ilegal dari Bangladesh. Mereka ditolak kewarganegaraannya, dan dikenai pembatasan ketat untuk bergerak.
PBB mengatakan, penumpasan militer 2017 dilakukan dengan niat genosida. Myanmar menyangkal bahwa mereka telah melakukan niat genosida. Myanmar mengatakan, mereka melancarkan kampanye yang ilegal terhadap kelompok pemberontak yang menyerang pos polisi.
Ratusan ribu pengungsi Rohingya pada Kamis (25/8/2022) menandai peringatan lima tahun eksodus mereka dari Myanmar ke Bangladesh. Sementara Amerika Serikat, Uni Eropa, dan negara-negara Barat lainnya berjanji untuk terus mendukung upaya para pengungsi untuk mendapatkan keadilan di pengadilan internasional.
Lebih dari 1 juta orang Rohingya tinggal di kota tenda-tenda pengungsi yang kumuh di distrik Cox's Bazar dekat perbatasan Bangladesh-Myanmar. Mereka melarikan diri dari penumpasan militer di negara bagian Rakhine Myanmar.