REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Syamsul Yakin
Dalam kitab al-Mawaidz al-Ushfuriyah, Muhammad bin Abi Bakar mengutip hadits Nabi yang berbunyi, "Kedermawanan adalah sebatang pohon di surga yang ranting-rantingnya menjulur ke dunia. Barangsiapa mengambil salah satu ranting itu, niscaya ranting itu akan menuntunnya ke surga. Sementara itu, kekikiran adalah sebatang pohon di neraka yang ranting-rantingnya menjulur ke dunia. Barangsiapa mengambil salah satu rantingnya itu, niscaya akan menuntunnya ke neraka.”
Dalam bahasa yang lebih praksis, kedermawanan adalah kemurahan hati terhadap sesama manusia tanpa peduli asal suku, bangsa, dan agama. Kemurahan hati inilah yang mengalir ke tangan dengan memberikan yang dibutuhkan oleh mereka yang miskin dan menderita, bodoh dan terbelakang. Maka itu, kedermawanan ada yang bersifat materi (benda) seperti uang dan makanan, ada juga yang bersifat immateri (bukan benda) seperti ilmu dan nasihat. Inilah spektrum kedermawanan.
Dalam bahasa agama, kedermawanan adalah sebatang pohon di surga yang ranting-rantingnya menjulur ke dunia. Mengambil salah satu ranting itu adalah makna kiasan. Makna sebenarnya adalah ambil bagian dalam bederma. Hari ini bederma disebut juga filantropi. Filantropi meliputi pemberian yang bersifat konsumtif dan produktif sekaligus. Seperti halnya zakat, fungsi manajerial filantropi memberdayakan orang yang diberi derma agar suatu saat dapat memberi derma. Atau merubah mustahik jadi muzaki.
Berikutnya, bahwa ranting itu akan menuntunnya ke surga, ini juga makna konotatif. Makna denotatifnya adalah amal baik seperti bederma itulah yang membuat Allah ridha. Ridha Allah inilah yang secara otomatis memasukkan seorang dermawan ke surga. Bisa jadi sebatang pohon yang bernama kedermawanan tidak ditemui di surga, karena itu makna denotatif belaka. Namun sabda Nabi di atas sangat inspiratif menggugah manusia bederma yang berujung surga. Surga sendiri, jadi motivasi bagi siapa saja dalam bederma. Karena orang yang masuk surga pralambang diridhai Allah.
Tentu makna kiasan atau konotatif seperti sabda Nabi bertebaran juga di dalam Alquran. Misalnya, "Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. al-Baqarah/2: 261). Ayat inilah, menurut pengarang Tafsir Jalalain, yang memberi pemahaman bahwa kedermawanan akan dibalas sebanyak tujuh ratus lipat.
Dalam kaca mata tasawuf, kedermawan adalah puncak ketinggian akhlak. Allah memberi ilustrasi, "Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) mencintai orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin) Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung." (QS. al-Hasyr/59: 9).
Terakhir, Syaikh Muhammad bin Abi Bakar mengutip hadits Nabi yang membuat manusia harus memilih kedermawanan ketimbang kekikiran. Inilah sabda Nabi, "Orang yang dermawan itu dekat dengan Allah, dekat dengan surga, dekat dengan manusia, dan jauh dari neraka. Sedangkan orang yang kikir itu jauh dari Allah, jauh dari surga, jauh dari manusia, dan dekat dengan neraka. Orang bodoh yang dermawan lebih dicintai Allah ketimbang ahli ibadah yang kikir."
Menariknya, hadits ini mengangkat derajat orang bodoh (secara intelektual) yang dermawan ketimbang ahli ibadah yang kikir. Sebab orang dermawan yang bodoh sejatinya cerdas secara spiritual.