Jumat 26 Aug 2022 10:25 WIB

Untung Rugi Perdagangan Karbon Bagi Perusahaan di Indonesia

Indonesia membutuhkan dana sebesar 243 miliar dolar AS untuk kurangi emisi karbon.

Foto udara kerusakan hutan. (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Adeng Bustomi
Foto udara kerusakan hutan. (ilustrasi)

Oleh : Ichsan Emrald Alamsyah, Redaktur Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengaku telah mengkaji pelaksanaan perdagangan karbon di Bursa Efek Indonesia. Meski masih menjadi kajian namun sebenarnya Indonesia telah memiliki dasar hukum pelaksanaan kegiatan jual beli kredit karbon ini.

Dasar aturannya telah terbit di 2021, melalui Peraturan Presiden nomor 98 tahun 2021 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 29 Oktober 2021. PP Nomor 98 ini juga disebut sebagai wujud  komitmen Indonesia terhadap Nationally Determined Contributions (NDC) terkait isu perubahan iklim, baik dalam bentuk penguatan program maupun strategi. Nah, di dalam PP ini pun juga telah mengatur lahirnya pasar karbon di tanah air.

Bahkan, dalam Perpres NEK itu, ada beberapa mekanisme perdagangan karbon yang diatur, yaitu perdagangan antara dua pelaku usaha melalui skema cap and trade, pengimbangan emisi melalui skema carbon off set, pembayaran berbasis kinerja (result based payment), dan pungutan atas karbon, serta kombinasi dari skema yang ada.

Lalu sebenarnya apa itu perdagangan karbon? Perdagangan karbon bisa diartikan sebagai kegiatan jual beli kredit karbon dimana pembeli menghasilkan emisi karbon yang melebihi batas yang ditetapkan.

Sementara Kredit karbon adalah representasi dari hak bagi sebuah perusahaan untuk mengeluarkan sejumlah emisi karbon atau gas rumah kaca lainnya dalam proses industrinya. Adapun satu unit kredit karbon setara dengan penurunan emisi satu ton karbon dioksida (CO2).

Kredit karbon yang dijual umumnya berasal dari proyek-proyek hijau. Lembaga verifikasi akan menghitung kemampuan penyerapan karbon oleh lahan hutan pada proyek tertentu dan menerbitkan kredit karbon yang berbentuk sertifikat. Kredit karbon juga dapat berasal dari perusahaan yang menghasilkan emisi di bawah ambang batas yang ditetapkan pada industrinya.

Melihat skema di atas sudah jelas bahwa bagi Indonesia maupun perusahaan yang ada di Indonesia memungkinkan untuk meraih pendanaan lewat perdagang karbon.

Ekonom Center of Reform (Core) Indonesia Yusuf Rendy menilai Indonesia bisa terlihat lebih aktif terutama dalam berupaya mengurangi emisi karbon. Hal ini menjadi penting karena Indonesia merupakan salah satu negara dengan luas hutan yang relatif besar, sehingga tentu akan bisa menjadi contoh bagi negara lain yang ingin menjalankan perdagangan karbon.

“Kita ketahui bersama saat ini pemerintah tengah berupaya untuk mengejar target pengurangan emisi karbon terutama pada  2030 sebagaimana yang disepakati dari konsensus global terkait pengurangan karbon,” ujarnya ketika dihubungi Republika, Selasa (16/8/2022).

Dia menyebut bagi swasta perdagangan karbon nantinya bisa menjadi petunjuk tentang bagaimana swasta bisa berpartisipasi dalam upaya pemerintah dalam menurunkan emisi karbon dan saya pikir dengan dapat diperdagangkannya emisi karbon di Bursa Efek. Artinya semua pelaku usaha bisa secara terbuka terlibat dalam upaya ini.

“Apalagi potensi dari perdagangan karbon cukup besar ada 300 miliar dolar AS yang kemudian bisa diperdagangkan terutama dalam konteks perdagangan karbon ini sehingga menurut saya tidak hanya kemudian sebagai upaya dalam menurunkan emisi karbon saya pikir ini juga akan menguntungkan secara perekonomian,” ucapnya.

Sementara itu Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira juga melihat lewat perdagangan karbon maka akan dihitung jumlah emisi setiap perusahaan yang tercatat sertifikat karbon.  “Jadi setiap perusahaan berapa penyumbang emisinya. Ini mekanisme pasar yang bisa membuat mereka yang menyumbang emisi karbon akan lebih besar maka bisa menurunkan, karena akan dikenakan juga biaya yang sangat besar misal pajak karbon, sehingga melalui perdagangan karbon melakukan pengurangan emisi karbon secara bertahap,” ucapnya.

Menurutnya jika bisa mengurangi emisi karbon maka bisa di bawah ketentuan aturan pemerintah, sehingga karbon bisa dijual kepada perusahaan masih cukup tinggi. Alhasil memuncul insentif bagi para perusahaan agar emisi karbonnya bisa lebih rendah.

Ke depan selain perdagangan karbon nanti perusahaan yang emisi karbonnya rendah bisa bermanfaat mencari pendanaan baru. Hal ini dikarenakan tingkat risikonya rendah dibandingkan perusahaan yang memiliki emisi karbon tinggi.

“Akan dijadikan syarat pendanaan, jadi melengkapi EGC standar yang telah diterapkan berbagai perusahaan. Artinya bisa memunculkan peluang investasi yang lebih besar ke sektor ramah lingkungan terutama penanaman langsung modal dalam negeri,” ucapnya.

Mengurangi emisi

Pemerintah menyebut Indonesia membutuhkan dana sebesar 243 miliar dolar AS atau setara Rp 3.500 triliun untuk mengurangi emisi karbon dan gas rumah kaca. Hal ini sejalan dengan target Nationally Determined Contribution (NDC)  untuk menurunkan emisi karbon hingga 29 persen dengan upaya sendiri, dan 41 persen dengan bantuan internasional pada 2030.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan dana tersebut digunakan untuk menyediakan listrik dari energi baru dan terbarukan yang lebih hijau. Angka ini menurut dia jelas lebih tinggi dari target belanja negara pada APBN 2022 sebesar Rp 3.106 triliun.

Sri Mulyani juga menyebut pemerintah membutuhkan banyak bantuan untuk mencapai target NDC. Misalnya, peran swasta ikut turun tangan menggelontorkan dana untuk memproduksi listrik sekaligus mengurangi emisi karbon di dalam negeri.

"Kami ada estimasi biaya segini, alokasi dana dari pemerintah segini, kami bilang ini ada financing gap. Ini siapa yang bayar? Kalau tidak ada yang mau bayar maka akan diskusi terus. Ini bicara tentang proyek yang biayanya mahal," ucapnya.

Menurutnya, untuk mencapai target NDC sebesar 29 persen, sektor ketenagalistrikan perlu mengurangi emisi karbon hingga 314 juta ton setara karbondioksida. “Angka itu menjadikan sektor ketenagalistrikan penyumbang pengurang emisi karbon kedua terbesar setelah sektor kehutanan,” ucapnya.

Adapun untuk mencapai target NDC sebesar 41 persen, sektor ketenagalistrikan perlu mengurangi emisi karbon hingga 446 juta ton setara karbondioksida pada 2030.

“Pendanaan untuk mengurangi emisi karbon tidak hanya akan datang dari uang pemerintah. Pemerintah akan berperan, tapi peran swasta dan pembiayaan internasional juga penting,” ucapnya.

Sri Mulyani menyebut jumlah masyarakat di Indonesia terus bertambah. Maka demikian, kebutuhan listrik juga meningkat. Maka itu, saat ini pemerintah juga masih menyusun teknis pengenaan pajak karbon untuk memberikan insentif bagi pelaku usaha yang telah berhasil mengurangi emisi karbon.

“Pemerintah juga masih mendiskusikan terkait harga karbon yang paling adil. Sayangnya pasar karbon global tidak memiliki harga karbon yang universal. Ini perdebatan serius dalam pertemuan Menteri Keuangan negara anggota G20 terkait harga karbon yang adil yang mencerminkan tanggung jawab umum yang berbeda,” ucapnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement