REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyampaikan, ingin segera menyelesaikan pengembangan kasus korupsi pengadaan bantuan sosial (bansos). Lembaga antirasuah itu masih menunggu hasil audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) soal kerugian negara dalam kasus yang melibatkan eks menteri sosial (mensos) Juliari Batubara.
"Kami sebenarnya maunya cepat. Namun demikian, partner kita dalam hal penegakan tindak pidana korupsi yang sebagai ahli penghitung kerugian negara juga butuh waktu juga dalam hal menghitung," kata Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Karyoto di Jakarta, Jumat (26/8/2022).
Karyoto menerangkan, KPK secara aktif terus berkoordinasi dengan BPKP untuk merampungkan penghitungan kerugian negara dalam kasus korupsi pengadaan bansos itu. Hanya saja, ia menyebut, penghitungan itu membutuhkan proses yang panjang dan waktu cukup lama. "Nah, ini kalau kita awam sebagai penyidik sebenarnya satu pekan selesai," ujar Karyoto.
Sayangnya, sudah setahun kasus itu diaudit, hingga kini prosesnya masih belum kelar. "Ini yang dikatakan kendala klasik. Namun demikian, kami tidak bosan-bosan untuk selalu berkoordinasi dengan partner kita baik BPK maupun BPKP," ucap Karyono.
Dalam penyelidikan kasus bansos tersebut, KPK sempat meminta keterangan Juliari Peter Batubara pada 6 Agustus 2021. Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara KPK, Ali Fikri mengatakan, lembaganya berupaya mengembangkan kasus dugaan korupsi pengadaan bansos dengan meminta keterangan beberapa pihak terkait lainnya.
KPK mengungkapkan bahwa fakta yang muncul saat persidangan Juliari dapat dijadikan pintu masuk untuk mengusut keterlibatan pihak-pihak lain dalam kasus bansos. Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada 23 Agustus 2021 telah memvonis Juliari dengan pidana penjara selama 12 tahun ditambah denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan.
Bekas bendahara umum PDIP itu juga wajib membayar uang pengganti sejumlah Rp 14,5 miliar. Selain itu, hak politik Juliari dicabut terkait dalam jabatan publik selama empat tahun setelah selesai menjalani pidana pokok.
Dalam perkara itu, Juliari terbukti menerima uang sebesar Rp 1,28 miliar dari Harry Van Sidabukke, sebesar Rp 1,95 miliar dari Ardian Iskandar Maddanatja, serta uang sebesar Rp 29,252 miliar dari beberapa penyedia barang lain sehingga totalnya mencapai Rp 32,482 miliar. Tujuan pemberian suap itu adalah agar Juliari menunjuk perusahaan penyuap agar terpilih menyalurkan bansos.