REPUBLIKA.CO.ID, PALU -- Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu Prof Sagaf Pettalongi menyatakan orang tua harus mampu membimbing, memberikan pencerahan, sekaligus mencegah anak agar tidak menikah pada usia sekolah.
"Rumah tangga dan orang tua adalah tempat pendidikan utama yang dilalui anak dalam proses tumbuh kembang," ucap Prof Sagaf di Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (26/8).
Apa yang disampaikan Prof Sagaf terkait dengan pernyataan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo yang mengatakan bahwa angka perceraian semakin meningkat telah memunculkan fenomena banyaknya janda usia sekolah (JUS) pada remaja Indonesia.
Berdasarkan data yang dimiliki oleh BKKBN, pada 2015 angka perceraian di Indonesia sebanyak 350 ribu kasus. Jumlahnya naik tiga tahun kemudian hingga menjadi 450 ribu kasus. Sayangnya, dari dua juta lebih pasangan yang menikah dan tercatat secara resmi di pemerintah, angka perceraian pada 2021 melonjak menjadi 580 ribu kasus.
Perceraian JUS yang terjadi dalam keluarga, disebabkan oleh adanya sebuah hubungan toksik, di mana pasangan muda tidak dapat mencapai suatu kesepakatan bersama yang berujung pada pertengkaran.
Pertengkaran itu sendiri merupakan dampak dari tidak siapnya pasangan dalam membangun sebuah keluarga. BKKBN menyebut ketidaksiapan itu terjadi karena adanya perkawinan dini dan gangguan mental emosional (emotional mental disorder) yang diderita pada masa remaja.
Akibatnya, banyak perempuan yang terlanjut memiliki anak dan menjadi janda pada usia muda, dengan kondisi yang cukup memprihatinkan. Mereka pun berada di batas ekonomi miskin dan pendidikannya yang rendah.
BKKBN mencatat, ada 20 perceraian pada setiap 1.000 perempuan, yang sudah pernah hamil dan melahirkan pada usia 15 sampai 19 tahun. Sagaf yang merupakan Rektor UIN Datokarama Palu mengemukakan pernikahan di usia dini atau usia sekolah cenderung memberikan dampak negatif pada remaja Indonesia.
Di antaranya, terkait dengan kemiskinan atau rentan miskin, dikarenakan belum memiliki kemapanan hidup dari sisi pekerjaan, minim pengetahuan dan keterampilan. Selain itu, dapat berkontribusi terhadap stunting (kekerdilan) akibat minimnya pengetahuan tentang pengasuhan anak dan pemenuhan gizi.
"Dan, yang paling berbahaya jika menikah di usia sekolah adalah bisa berdampak pada kematian ibu hamil saat melahirkan," ujarnya.