Jumat 26 Aug 2022 20:15 WIB

Kelompok HAM Puji Inggris yang Campur Tangan dalam Kasus Rohingya

Inggris campur tangan dalam kasus ICJ antara Gambia dan Myanmar.

Rep: Fergi Nadira B/ Red: Esthi Maharani
Pengungsi Rohingya mengambil bagian dalam protes yang diadakan untuk menandai peringatan lima tahun migrasi massal pengungsi Rohingya dari Myanmar ke Bangladesh, di sebuah kamp darurat di Kutubpalang, Ukhiya, distrik Cox Bazar, Bangladesh, 25 Agustus 2022. Menurut PBB Komisaris Tinggi untuk Pengungsi (UNHCR), lebih dari 900.000 pengungsi Rohingya tinggal di Bangladesh dan wilayah Cox
Foto: EPA-EFE/MONIRUL ALAM
Pengungsi Rohingya mengambil bagian dalam protes yang diadakan untuk menandai peringatan lima tahun migrasi massal pengungsi Rohingya dari Myanmar ke Bangladesh, di sebuah kamp darurat di Kutubpalang, Ukhiya, distrik Cox Bazar, Bangladesh, 25 Agustus 2022. Menurut PBB Komisaris Tinggi untuk Pengungsi (UNHCR), lebih dari 900.000 pengungsi Rohingya tinggal di Bangladesh dan wilayah Cox

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK - Kelompok hak asasi manusia (HAM) memuji keputusan pemerintah Inggris untuk campur tangan dalam kasus Rohingya di hadapan Mahkamah Internasional (ICJ). Selain Inggris, puluhan negara lainnya mendukung kasus tersebut.

"Keputusan pemerintah Inggris untuk campur tangan dalam kasus (Rohingya) mengirimkan pesan solidaritas yang kuat kepada orang-orang Rohingya lima tahun sejak serangan genosida di negara bagian Rakhine,” kata direktur eksekutif Jaringan Hak Asasi Manusia Burma yang berbasis di London (BHRN), Kyaw Win seperti dilansir laman Anadolu Agency, Jumat (26/8/2022).

Baca Juga

"Keadilan internasional dapat memiliki efek pencegahan dan menghentikan kekejaman di masa depan oleh junta brutal di Burma," imbuhnya.

Menurut BHRN, 60 negara, termasuk Kanada, Belanda, Inggris, dan 57 anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI), mendukung kasus tersebut. Menteri Inggris untuk Asia, Amanda Milling mengkonfirmasi niat Inggris untuk campur tangan dalam kasus ICJ antara Gambia dan Myanmar.

Pada 22 Juli, ICJ menolak keberatan awal Myanmar atas kasus yang diajukan Gambia pada November 2019 di bawah Konvensi Genosida Internasional atas dugaan genosida terhadap etnis Rohingya di Negara Bagian Rakhine. Kasus tersebur fokus pada operasi militer yang diluncurkan pada Oktober 2016 dan Agustus 2017.

Pada Januari 2020, ICJ dengan suara bulat mengeluarkan langkah-langkah perlindungan sementara bagi orang-orang Rohingya, yang mengharuskan Myanmar untuk memastikan bahwa militer dan pasukan keamanan lainnya tidak melakukan tindakan genosida. Pada Kamis (25/8/2022), Rohingya memperingati lima tahun "Hari Peringatan Genosida" dan eksodus paksa mereka dari negara bagian Rakhine.

Menurut data BHRN, hampir 600 ribu orang Rohingya masih terjebak di negara bagian Rakhine di bawah sistem undang-undang dan kebijakan diskriminatif. Ini merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida yang sedang berlangsung.

“Sejak percobaan kudeta militer pada 1 Februari 2021, situasi hak asasi manusia Rohingya semakin memburuk dengan Rohingya menghadapi pembatasan ketat pada kebebasan mendasar mereka dan semakin berisiko menjadi sasaran kejahatan kekejaman lebih lanjut,” kata kelompok hak asasi itu.

Militer Burma, yang dikenal sebagai Tatmadaw melancarkan kudeta tahun lalu untuk menggulingkan pemerintah Liga Nasional untuk Demokrasi. Selain itu kelompok hak asasi manusia juga memuji peran Gambia. Langkah Gambia dikatakan merupakan langkah-langkah untuk mengakhiri impunitas bagi mereka yang melakukan kekejaman di Myanmar harus didukung penuh oleh komunitas internasional.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement