REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Syamsul Yakin
Dalam kitab Qathrul Ghaits, Syaikh Nawawi membagi manusia menjadi tiga kelompok. Pertama, orang beriman yang tulus dalam keimanannya. Kedua, orang kafir yang mengingkari kekafirannya. Ketiga, orang munafik yang mencari muka dalam kemunafikannya.
Ketiga kelompok manusia ini penting diidentifikasi untuk memahami perbedaan mendalam ketiganya. Tujuannya, agar manusia berfirman dapat terus mempertahankan dan meningkatkan keimanannya. Selain tentunya, menghindari bahaya kafir dan munafik. Terutama bahaya munafik yang lebih sulit dikenali ketimbang bahaya kafir.
Menurut Syaikh Nawawi, orang beriman yang tulus keimanannya melakukan tiga hal. Pertama, dia menyatakan keimanan dengan lisannya. Misalnya mengucapkan syahadat.
Soal ini Nabi bersabda, "Iman itu ada tujuh puluh atau enam puluh sekian cabang. Yang paling tinggi adalah perkataan ‘laa ilaha illallah’, yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalanan, dan sifat malu merupakan bagian dari iman.” (HR. Bukhari). Namun syahadat tidak cukup diucapkan.
Oleh karena itu orang yang tulus keimanannya, yang kedua, yang dilakukannya adalah membenarkan dengan hati tanpa ada keraguan sedikitpun bahwa Allah Mahaesa. Seperti firman-Nya, "Katakanlah: "Dialah Allah Yang Mahaesa." (QS. al-Ikhlas/112: 1).
Kemudian yang ketiga yang dilakukan oleh orang beriman yang murni keimanannya adalah mengaktualisasikan keimanannya dengan segenap anggota badannya. Seperti hati, pikiran, dan anggota tubuhnya diajak untuk melaksanakan shalat, puasa, dan haji. Termasuk ibadah nawafil lainnya dari gelap ke gelap sepanjang hari.
Tentang kelompok manusia kedua, yakni orang kafir yang mengingkari kekafirannya, adalah orang yang tidak menyatakan keimanannya kepada Allah. Oleh karena itu, dia juga tidak beriman kepada Allah dengan hatinya. Jadi, orang kafir itu tegas keyakinannya, yakni menolak ketuhanan Allah. Dengan kata lain, terdapat garis demarkasi antara orang Islam dan orang kafir dalam konteks keimanan, kendati tidak dalam konteks kemanusiaan.
Secara tegas karakteristik orang kafir, Allah informasikan, "Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman." (QS. al-Baqarah/2: 6). Dalam sejarah contoh orang kafir, menurut pengarang Tafsir Jalalain, adalah Abu Lahab, yang tak lain adalah paman Nabi sendiri.
Kelompok manusia terakhir, yakni orang munafik yang mencari muka dengan kemunafikannya adalah orang yang menyatakan keimanannya secara lisan kepada Allah namun tidak beriman kepada-Nya. Kendati dia shalat, shalatnya digambarkan Alquran, "Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia." (QS. al-Nisaa/4: 142).
Dalam membangun masyarakat Muslim, mengenali ketiga kelompok manusia ini sangat penting. Orang beriman tentu akan totalitas membantu, orang kafir secara frontal akan menolak, sedangkan orang munafik sangat sulit ditebak.