REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin atau 0,25 persen menjadi 3,75 persen. Adapun keputusan kenaikan suku bunga kebijakan tersebut sebagai langkah preemptive dan forward looking dan peningkatan risiko inflasi inti dan ekspektasi inflasi akibat harga BBM dan inflasi volatile food dan stabilisasi kebijakan fundamental nilai tukar rupiah.
Merespon hal ini, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk menilai keputusan tersebut sejalan dengan ekspektasi. Hal ini mengingat langkah masih diperlukan untuk menstabilkan nilai tukar rupiah serta mengakselerasi pemulihan ekonomi
Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri Rudi As Aturridha mengatakan perseroan menyambut positif keputusan Bank Indonesia untuk menaikkan suku bunga acuan sebagai kebijakan antisipatif terhadap potensi inflasi ke depan.
“Dalam praktiknya penyesuaian kenaikan suku bunga acuan terhadap bunga pinjaman maupun simpanan tentunya akan bergantung pada kondisi likuiditas masing-masing perbankan, termasuk perhitungan pada tren suku bunga di pasar,” ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id dikutip Ahad (28/8/2022).
Sebagai catatan, sejak awal tahun lalu, suku bunga deposito rupiah telah secara agresif diturunkan 50 basis poin sampai 75 basis poin dari sebelumnya tiga persen pada Maret 2021 menjadi 2,25 persen sampai 2,50 persen pada Juli 2022. Hal sama juga terjadi suku bunga dasar kredit yang secara rata-rata seluruh segmen telah turun 167 basis poin selama 2021 sampai 2022, dengan penurunan terbesar pada suku bunga dasar kredit segmen konsumsi.
“Kenaikan bunga acuan tidak terlalu berdampak signifikan terhadap pertumbuhan kredit. Bank Mandiri tetap optimis target pertumbuhan kredit sebesar 11 persen hingga akhir 2022 dapat terealisasi dengan tetap menjaga prinsip kehati-hatian,” ucapnya.
Adapun, saat ini tingkat likuiditas Bank Mandiri masih berada pada level ample atau likuid. Hal ini tercermin dari posisi loan to deposit ratio (LDR) bank only pada Juli 2022 yang terjaga pada level 87,48 persen dengan tren pertumbuhan dana pihak ketiga yang optimal serta didominasi oleh dana murah (CASA).
Tercatat pada Juli 2022 total DPK sebesar Rp 1.013,08 triliun atau tumbuh 8,78 persen secara year on year (yoy). Pertumbuhan tersebut antara lain disumbang oleh CASA yang tumbuh 11,82 persen yoy menjadi Rp 768,09 triliun.
Sementara itu PT Bank Central Asia Tbk menambahkan perusahaan akan menyiapkan strategi yang tepat terkait langkah yang ditempuh bank sentral tersebut. Hal ini dilakukan guna senantiasa memberikan nilai tambah dan layanan yang optimal bagi segenap nasabah dan masyarakat.
Direktur Keuangan BCA Vera Eve Lim mengatakan perusahaan berkomitmen mendukung kebijakan pemerintah, regulator, dan otoritas perbankan. "Di tengah situasi inflasi dan mayoritas pengetatan kebijakan moneter secara global, menurut kami Bank Indonesia telah mengambil keputusan mengacu pada pertimbangan fundamental ekonomi dalam rangka mendukung stabilitas dan memperkuat pemulihan perekonomian nasional," ucapnya.
Adapun total kredit naik 13,8 persen yoy menjadi Rp 675,4 triliun pada semester I 2022. Ke depan perusahaan optimis kredit bisa naik delapan hingga 10 persen pada tahun ini.
Ekonom Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira menambahkan kenaikan suku bunga Bank Indonesia akan memengaruhi pertumbuhan kredit perbankan, baik itu kredit kendaraan, kredit usaha, hingga kredit kepemilikan rumah (KPR). Sebab kenaikan BI rate ini akan diikuti oleh kenaikan bunga kredit bank semakin besar suku bunga kredit maka akan menyurutkan keinginan masyarakat untuk mengambil kredit bank.
Terlebih, setelah pandemi Covid-19, banyak nasabah yang masih terkendala dalam pelunasan kredit meskipun telah diberikan program relaksasi dari pemerintah. Hal ini tentu akan semakin mempersulit debitur-debitur tersebut, sehingga berpotensi untuk menaikkan kredit bermasalah atau nonperforming loan (NPL) perbankan.
"Kalau bunga acuannya naik, maka pertumbuhan kreditnya akan terganggu. Risiko NPL-nya akan naik," kata Bhima.
Selain itu, perbankan juga harus menanggung cost of fund dari kenaikan suku bunga deposito yang ikut naik karena kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia. Padahal produk deposito ini merupakan salah satu sumber pendapatan perbankan.
"Itulah yang membuat semakin cepat bank menyesuaikan suku bunga pinjamannya. Jadi waktu bunga acuan turun, bank relatif lambat menyesuaikan bunga kredit turun, tapi kalau BI menaikkan suku bunga 25 basis poin saja bank akan cepat merespons menaikkan suku bunga pinjaman," ucapnya.