REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Komunitas cosplay di Jakarta menyuarakan suara hati mereka. Keinginan untuk berekspresi sesuai dengan isi hati mereka diharapkan dapat diterima masyarakat, khususnya di Indonesia. Mereka berharap dapat menemukan tempat untuk berekspresi, berteriak sambil menari.
Pelaku cosplay (permainan kostum) disebut pemain kostum atau biasa disebut cosplayer. Salah satu cosplayer berbakat di Indonesia adalah Monta, 23 tahun.
“Komunitas cosplay berharap bisa mendapat tempat atau lokasi untuk mengekspresikan diri. Tentunya, mereka juga dapat membawa diri dan tetap memperhatikan norma-norma yang ada di Indonesia,” kata Monta di Jakarta, akhir pekan kemarin.
Komunitas cosplay pun berusaha meluapkan ekspresi mereka di sejumlah wilayah DKI Jakarta, Jumat (26/8/2022) dan Sabtu (27/8/2022), antara lain MH Thamrin, Cipete, dan Lebak Bulus. Dalam aksi yang berlangsung dua hari itu, komunitas cosplay turut membawa poster dengan tagar #screamordance. Tak hanya itu, para mereka juga mengajak para cosplayer untuk bersatu tetap berekspresi dan menjunjung etika dan norma-norma sosial di masyarakat.
Cosplay adalah istilah Bahasa Inggris ), buatan Jepang yang berasal dari gabungan kata costume (kostum) dan play (bermain). Cosplay berarti hobi mengenakan pakaian beserta aksesori dan rias wajah seperti yang dikenakan tokoh-tokoh dalam anime, manga, dongeng, permainan video, penyanyi dan musisi idola, dan film kartun.
Di Jepang, peserta permainan kostum bisa dijumpai dalam acara yang diadakan perkumpulan sesama penggemar (dōjin circle), seperti Comic Market, atau menghadiri konser dari grup musik yang bergenre visual kei. Penggemar permainan kostum termasuk pemain kostum maupun bukan pemain kostum sudah tersebar di seluruh penjuru dunia, yaitu Amerika Serikat, Tiongkok, Eropa, Filipina, maupun Indonesia.
“Jadi sebenarnya kalau di Indonesia sendiri, saya merasa keresahan cosplayer itu karena komunitas kita dipandang sebelah mata. Maksudnya, seperti main-main dan menjurus ke arah menampilkan tubuh seksi saja. Padahal, cosplaying is more than that. Tapi, beruntung circle cosplayers saya nggak begitu sih. Kita yang normal-normal saja,” ujar Monta.
Monta mengungkapkan, sebagian besar cosplayer banyak yang mengalami sexual harassment. Namun, tidak dimungkiri, kata Monta, ada beberapa cosplayer yang di-bully lantaran salah kostum dan akibat dari perilakunya sendiri.
“Contoh pertama, ada satu event di mall yang terbuka untuk umum. Lalu, ada salah seorang pria dengan tubuh kekar memakai bunny maid suit. Selanjutnya, ada netizen di media sosial yang mempermasalahkan kostum pria tersebut. Menurut netizen, kostum pria itu tidak senonoh lantaran memakai kostum di atrium mall. Di sana, semua orang bisa melihat dengan jelas,” demikian pengakuan Monta.
Berdasarkan kondisi itu, Monta mengaku tidak memihak siapapun. “Saya malah merasa kasihan kepada pria itu lantaran dia menjadi bahan bully di media sosial. Padahal, dia sudah meminta maaf,” jelas dia.
Contoh kedua, kata Monta, adalah saat salah satu cosplayer Genshin Impact. Dia foto bersama dengan fans. Namun, posenya yang tidak sesuai. Posisi laki-laki sedang tidur dan perempuan berada di atas. Kejadian itu terjadi dalam sebuah event.
“Kejadian buruk malah viral. Tapi, ada perwakilan cosplayer mewakili Indonesia ke sebuah acara di luar negeri malah tidak muncul,” ujar Monta.
Menurut Monta, cosplay sama seperti fashion. Cosplay adalah bentuk ekspresi diri dan menampilkan hobi terhadap pop culture.
“Mungkin, sebagian besar cosplayer hanya untuk bersenang-senang. Namun, ada juga mau serius menekuni sebagai profesi. That’s also a good reason to cosplay,” papar Monta.