Mengkritisi Potensi Dwifungsi TNI dalam Revisi UU TNI
Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Muhammad Fakhruddin
Imparsial bersama LBH Surabaya Pos Malang menyelenggarakan diskusi tentang wacana revisi UU TNI dan pembentukan Dewan Keamanan Nasional di Fakultas Hukum (FH) Universitas Brawijaya (UB), Kota Malang, Senin (29/8/2022). | Foto: Republika/Wilda Fizriyani
REPUBLIKA.CO.ID,MALANG -- Usulan penempatan perwira TNI aktif dalam jabatan di kementrian dan lembaga kembali muncul di Indonesia. Terbaru, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko-Marves) RI, Luhut Binsar Panjaitan sempat mengusulkan kebijakan tersebut meskipun banyak penolakan dari berbagai pihak.
Salah satu penolakan muncul dari Peneliti Senior Imparsial, Al Araf. Menurut Al Araf, ada satu isu yang perlu diantisipasi dari adanya revisi UU TNI. "Menko Luhut menginginkan ada TNI aktif dapat kembali duduk secara langsung di jabatan sipil seperti bupati, gubernur, Menteri BUMN DPR dan sebagainya," ucap Al Araf saat mengisi kegiatan diskusi publik yang diselenggarakan Imparsial bersama LBH Surabaya Pos Malang di Gedung A Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FHUB), Kota Malang, Senin (29/8/2022).
Al Araf sendiri sudah mendengar isu tersebut sejak dua tahun lalu. Namun dia masih kesulitan untuk mengakses draft revisi UU TNI tersebut. Al Araf menduga draft tersebut akan muncul sebulan sebelum pengesahan sehingga masyarakat sipil tidak memiliki waktu yang cukup untuk membahasnya.
Ada pun mengenai poin diizinkannya perwira TNI menempati jabatan sipil, Al Araf menegakkan, itu sudah pasti bertentangan dengan amanat demokrasi. Sebab, demokrasi pada dasarnya tidak boleh dicampurkan dengan militerisme. Jika itu terjadi, maka akan menimbulkan problematika di Indonesia.
Menurut Al Araf, tentara TNI pada dasarnya dilatih bukan untuk melayani masyarakat. Mereka dilatih sebagai instrumen untuk ketahanan dan kedaulatan negara. Ditambah lagi, terdapat doktrin 'kill or to be killed' sehingga tentara dinilai tidak tepat untuk melayani publik.
Selain itu, agenda penempatan perwira TNI aktif di jabatan sipil termasuk bentuk pengingkaran reformasi. Sebab, terdapat upaya mengembalikan doktrin dwifungsi ABRI yang telah dicabut pada 1998. "Dan ini merupakan bentuk kemunduran dari agenda reformasi TNI," ucapnya.
Kritik serupa juga diungkapkan oleh Dekan FHUB, Muchamad Ali Safa'at. Penempatan perwira TNI aktif di jabatan sipil akan menjadi persoalan baru. Hal ini karena agenda tersebut sebenarnya sudah dihapuskan sejak masa reformasi 1998.
Sejak masa reformasi, demokratisasi menghendaki pemisahan antara militer dan sipil. Hal ini perlu dilakukan karena keduanya memiliki kultur yang berbeda. Terlebih, jika perwira TNI yang mendapatkan jabatan sipil masih memiliki ikatan militer.
Menurut Ali, demokratisasi di sipil biasanya memiliki kultur dengan cara menyampaikan gagasan seperti //sharing//atau negosiasi. Berbeda dengan sipil, militer melakukannya melalui cara diplomasi yang berkekuatan. Oleh karena itu, harus ada penghapusan dwifungsi ABRI atau TNI di Indonesia.
Di samping itu, agenda penempatan perwira TNI aktif di jabatan sipil juga berhubungan dengan aspek profesionalismenya. Seperti diketahui, TNI memiliki tugas untuk mempertahankan ketahanan dan menjaga kedaulatan negara dari berbagai ancaman. Tugas-tugas ini biasanya dilakukan dengan diplomasi berkekuatan yang sebenarnya diusahakan untuk digunakan seminimal mungkin.
Berdasarkan hal tersebut, Ali menegaskan, militer kuat adalah yang mampu menjawab ancaman dan siap berperang. Hal ini berarti harus bergerak sesuai dengan profesionalismenya. "Harus konsen di bidangnya. Dan boleh jabat (di jabatan sipil) asal tidak lagi di militer," kata dia.
Sebagai informasi, ada beberapa jabatan yang bisa diisi oleh perwira TNI aktif berdasarkan UU TNI Nomor 34 Tahun 2004. Jabatan-jabatan tersebut antara lain Kementerian Pertahanan, Kemenkopolhukam, Sekmil Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lemhanas, Dewan Pertahanan Nasional. Jabatan-jabatan tersebut memiliki keterkaitan dengan fungsi pertahanan.