REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Asosiasi Ahli Pidana Indonesia (AAPI) Muhammad Taufiq dihadirkan sebagai ahli dalam sidang lanjutan kasus "Jin Buang Anak" yang menjerat Edy Mulyadi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Selasa (30/8). Kubu Edy dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sempat berdebat soal unsur menimbulkan keonaran.
Pengacara Edy awalnya menanyakan kepada Taufiq soal keonaran termasuk unjuk rasa akibat pernyataan kliennya baru muncul setelah laporan kepada polisi diajukan. Kubu Edy menganggap, pernyataan Edy tak menimbulkan keonaran sebagaimana pandangan JPU.
Edy memang didakwa menyebarkan berita bohong alias hoaks. Pernyataan Edy diangggap, JPU bisa memantik keonaran di tengah masyarakat. Hakim lantas menengahi pertanyaan itu.
"Itu fakta, itu wilayah hakim. Pertanyaaan bisa diganti apakah keonaran yang saudara maksud harus secara nyata? Apakah sesuatu baik perbuatan maupun ucapan yang nantinya diduga menimbulkan keonaran harus spontan atau ada jeda?" kata hakim ketua Adeng AK dalam persidangan itu.
Adeng menilai, pertanyaan tersebut mestinya menjadi wewenang JPU untuk dapat membuktikannya. "Tentu ada kausalitas sebab akibat. Apakah perbuatan A menimbulkan B maka harus dapat dibuktikan," lanjut Adeng.
Adeng menyampaikan penentuan soal terjadinya keonaran akibat pernyataan Edy menjadi bagian dari putusan yang nantinya dijatuhkan majelis hakim. Dia mengisyaratkan, agar JPU dan tim kuasa hukum tak perlu mendebatkannya saat ini.
"Nantilah kami tentukan apakah sudah terjadi keonaran atau sebelum pelaporan terjadi keonaran. Nanti kami yang nilai. Yang penting JPU, terdakwa, kuasa hukum sajikan fakta," ujar Adeng.
JPU bersikukuh bahwa pernyataan Edy telah menimbulkan keonaran. Bahkan, JPU meyakini, keonaran itu bersifat meluas ke beberapa daerah.
"Ini kasus keonaran bisa di beberapa kota lintas provinsi. Ada juga yang bakar ban, menyembelih babi, berarti contoh kejadian lebih memenuhi keonaran di contoh ini (kasus Edy)," ujar JPU.
Sedangkan, Taufiq menyampaikan, sudah ada ketentuan mengenai keonaran yang dimaksud dalam hukum pidana. Setidaknya peristiwa keonaran, lanjut Taufiq, akan menghadirkan rasa takut di benak masyarakat.
"Keonaran itu peristiwa fisik yang terjadi yang memang masyarakat merasa takut. Ban meletus orang bisa takut (suara ledakannya) tapi kan kalau deskripsi rumusan harus real berarti sesuai rumusan pidananya," ucap Taufiq.
"Pandangan keonaran ahli dan jaksa beda. Sudahlah nggak ketemu," tegas hakim Adeng menengahi perdebatan.
Namun JPU justru menangkis pernyataan hakim ketua. "Ketemu (kesamaan pandangan soal keonaran) majelis. Karena contohkan kasus di masyarakat," sambung JPU.
"Jangan disuruh menilai fakta dalam persidangan. Nanti dia (ahli) jadi hakim pak" timpal Adeng.
JPU mendakwa Edy Mulyadi melanggar Pasal 14 ayat (1) UU RI No 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana subsider Pasal 14 ayat (2) UU RI No 1/1946 atau kedua Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) UU RI No 19/2016 tentang Perubahan atas UU RI No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Ketiga Pasal 156 KUHP.
Diketahui, eks calon legislatif itu ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Bareskrim Polri pada akhir Januari 2022. Kasus yang menjerat Edy bermula dari pernyataannya soal lokasi Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan yang disebut tempat jin buang anak. Pernyataan Edy sontak memancing reaksi keras sebagian warga Kalimatan.