REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Agama (Kemenag) diminta untuk meningkatkan negosiasi dengan pemerintah Arab Saudi terkait penyelenggaraan ibadah haji. Kemenag perlu menegosiasikan kembali soal harga masyair yang ditetapkan oleh pemerintah Saudi.
Anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf menyampaikan, pemerintah Saudi secara serta-merta menetapkan harga masyair yang tidak masuk akal. Terlebih, meski harga masyair itu naik signifikan, fasilitas yang diberikan oleh pihak Saudi tidak sesuai dengan tingginya harga tersebut.
"Saya heran, kenapa ketika pemerintah Saudi menetapkan harga masyair yang tidak masuk akal itu, tidak melalui negosiasi. Walaupun hanya diberi waktu beberapa hari, jangankan jarak 3 hari, 1 hari pun harus mampu menegosiasi, karena Kemenag telah mengurus masalah haji berpuluh-puluh tahun. Artinya pasti sudah sangat expert di berbagai aspek dalam urusan haji," tutur Bukhori kepada Republika, Selasa (30/8/2022).
Anggota DPR Fraksi PKS itu menyebutkan, semula harga masyair 1.400 riyal kemudian tiba-tiba naik menjadi 6.400 riyal. Menurutnya, ini jelas bukan kenaikan harga melainkan penetapan harga baru. "Persoalannya sebetulnya bukan di rasional atau tidak rasional harga itu, tetapi adalah kemampuan negosiasi. Jadi harus mencari negotiable yang baik dalam konteks ini," ujarnya.
Saudi, lanjut Bukhori, adalah penyedia layanan haji dan Indonesia adalah pengguna layanannya. Karena hubungan inilah, pengguna dan penyedia sudah sewajarnya melakukan negosiasi. "Ini dunia sudah terbuka. Ini perdagangan. Kalau perdagangan, gak ada kaitan dengan ibadah. Ibadah kan prosesnya. Sedangkan tempat, wukuf, tenda, itu kan perdagangan semua. Karena itu, harus negotiable," tambahnya.
Bukhori menyarankan Kemenag untuk tidak sendirian dalam melakukan negosiasi dengan Saudi, terutama soal harga masyair itu. Menurutnya, pemerintah RI perlu melibatkan negara-negara Muslim lain demi mendapatkan harga yang rasional. "Kalau negosiasi, jangan sendiri, libatkan banyak negara Muslim lainnya, seperti Turki, Pakistan, sehingga mendapatkan hasil yang masuk akal," ucapnya.
Kemenag, terang Bukhori, juga harus melakukan efisiensi sejak awal dengan pola perencanaan yang lebih baik dan antisipatif. Dia menekankan, perlu ada pembaruan dalam perencanaan agar mampu mengantisipasi berbagai perkembangan. Ia menilai, perencanaan dalam penyelenggaraan haji 2022 menunjukkan pemerintah kurang siap karena perencanaannya tidak berbasis pada situasi berkembang.
Selain itu, Bukhari mengingatkan supaya setelah selesai penyelenggaraan, dana efisiensi itu harus langsung disetor ke Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). "Jadi tidak menunggu audit BPK. Audit BPK itu digunakan sebagai pola perencanaan yang akan datang, bukan sekarang," jelasnya.