REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah bakal membentuk Cadangan Pangan Pemerintah (CPP) untuk 11 komoditas pangan yang akan dikelola oleh Perum Bulog dan BUMN Pangan. Namun, kebijakan CPP tersebut diminta agar tidak sekadar mengurusi soal harga dan pengendalian inflasi.
Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Khudori, mengatakan, jika ke depan kebijakan pangan pemerintah hanya mengurusi masalah harga, kesejahteraan petani, pengembangan masyarakat perdesaan sebagai lumbung pangan akan terabaikan.
"Tujuan kebijakan pengelolaan pangan harus utuh, hanya hanya masalah stabilisasi harga atau inflasi," kata Khudori dalam webinar Pataka, Selasa (30/8/3033).
Lebih lanjut, ia mengingatkan, kebijakan pengelolaan pangan harus dibuat terintegrasi dari hulu, tengah, dan hilir. Itu karena karakter komoditas pangan yang berdaya simpan terbatas demi meminimalisasi kerugian akibat kerusakan stok cadangan.
Karena itu, Khudori juga mengingatkan, CPP harus memiliki kepastian penyaluran. Belajar dari persoalan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang dikelola Perum Bulog, banyak masalah yang dihadapi lantaran Bulog harus terus menyerap gabah dan beras petani namun tak punya kepastian jaminan pasar.
"Kesuksesan pengelolaan CPP ditentukan dari mekanisme yang simpel, cepat dan jga kepastian skema pembiayaannya, termasuk ketika cadangan pangan mengalami turun mutu atau rusak" kata dia.
Adapun pihak yang wajib mengurus itu semua harus ditugaskan kepada Badan Pangan Nasional (NFA). Badan yang baru dibentuk itu juga harus melakukan harmonisasi peraturan dan penetapan tata kelola CPP.
Pemerintah menetapkan 11 komoditas cadangan pangan pemerintah (CPP) yang akan digunakan untuk langkah mitigasi maupun stabilisasi harga pangan di dalam negeri. Keputusan tersebut akan dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) yang akan segera terbit.
Asisten Deputi Kementerian Koordinator Perekonomian, Saifulloh, menjelaskan, sebelumnya ada sembilan komoditas pangan yang menjadi tanggung jawab pemerintah melalui Badan Pangan Nasional (NFA) yakni beras, jagung, kedelai, gula konsumsi, bawang, cabai telur ayam, daging ruminansia, serta daging unggas.
"Melalui draft (Perpres) ini ditambahkan dua komoditas yakni minyak goreng dan ikan. Nanti yang dipakai Badan Pangan Nasional adalah regulasi CPP," kata Saifulloh dalam webinar Pataka, Selasa (30/8/2022).
Namun, Saifulloh mengatakan, pengadaan CPP akan dilakukan secara bertahap dimulai dari tiga komoditas yakni beras, jagung, dan kedelai. Pengelolaan tiga komoditas itu akan dilakukan oleh Perum Bulog. Pada tahap selanjutnya, untuk perluasan komoditas CPP akan ditetapkan oleh Badan Pangan Nasional.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, untuk delapan komoditas lainnya, Badan Pangan Nasional dapat langsung menugaskan Bulog sebagai operator. Selain itu juga dapat meminta BUMN Pangan dengan persetujuan Menteri BUMN.
"Jadi nanti (pengelolaannya) akan fleksibel, tapi Bulog tetap memiliki peran utamanya untuk beras, jagung, dan kedelai," katanya.
Namun, ia menuturkan, mekanisme pengelolaan stok dilakukan secara dinamis pada level tertentu. Di sisi lain, pengelolaan CPP juga harus memanfaatkan teknologi untuk menjaga mutu dan memperpanjang masa simpan produk.
Saifulloh belum menjelaskan detail mengenai stok dinamis, namun ia menekankan cadangan pangan harus tersedia saat dibutuhkan utamanya ketika terjadi lonjakan harga. Penyaluran CPP juga bisa dilakukan ketika terjadi bencana alam maupun bencana sosial dan keadaan darurat.
Terkait sumber pengadaan cadangan pangan, Saifulloh menegaskan pemerintah memprioritaskan produksi dalam negeri. Stok CPP milik pemerintah juga bisa bersumber dari stok komersial Perm Bulog maupun BUMN Pangan lainnya dengan harga jual kepada pemerintah sesuai harga acuan.
Anggaran yang digunakan untuk pengadaan CPP bersumber dari APBN maupun sumber pendanaan lain yang sah dan tidak mengikat pada undang-undang seperti dana Badan Layanan Umum (BLU).
"Nanti Badan Pangan Nasional yang bertugas untuk mengatur desain, target, dan sasaran pengadaan CPP," kata Saifulloh.