REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Usulan tiga periode yang didengungkan Musyawarah Rakyat (Musra) oleh 17 kelompok relawan Pro-Jokowi pada 28 Agustus 2022 lalu di Bandung menjadi sorotan sejumlah pihak.
Sorotan antara lain muncul dari Sekretaris Jenderal (Sekjend) Sekretariat Kolaborasi Indonesia (SKI), Raharja Waluya Jati.
Aktivis pro-demokrasi era '90-an tersebut menilai usulan tersebut menjadi antiklimaks setelah semua elemen mendukung bersepakat mendukung Presiden Joko Widodo melanjutkan masa jabatan hingga tiga periode.
Padahal menurut dia, kegiatan tersebut merupakan rangkaian acara yang sedianya memiliki agenda utama pejaringan nama calon presiden untuk diserahkan kepada Presiden Jokowi pada tahun depan.
Jati, begitu akrab disapa, mempertanyakan komitmen kalangan aktivis politik maupun kelompok masyarakat sipil terhadap reformasi 1998.
Dia mengatakan, salah satu tuntutan inti dari gerakan reformasi adalah pembatasan kekuasaan yang berpotensi eksesif, khususnya yang berkaitan dengan masa jabatan Presiden.
“Saya ingin bertanya kepada teman-teman yang ada di partai politik, kelompok relawan politik, maupun kelompok masyarakat sipil. Apakah kita masih ingin meneruskan cita-cita reformasi, ataukah kita ingin mereformasi reformasi?,” ujar Jati di Jakarta, Selasa (30/8/2022).
Salah satu korban penghilangan paksa oleh negara pada pertengahan ‘90-an itu berpendapat, kelenturan dalam pengaturan masa jabatan Presiden justru bertentangan dengan keinginan publik untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan memperbaiki tata kelola negara.
Selama ini, praktik demokrasi yang berkualitas diyakini lebih memberikan dampak positif pada kehidupan masyarakat dan pencapaian kesejahteraan umum.
“Menkopolkam Mahfud baru-baru ini menyatakan bahwa demokrasi Indonesia mengalami kemunduran. Apakah kalangan aktivis politik dan kelompok masyarakat sipil membiarkan bahkan ikut mendorong praktek demokrasi kita semakin mundur?,” lanjutnya.
Di samping mengkritik wacana ‘Jokowi 3 periode’ yang dianggap bertentangan dengan cita-cita reformasi, Jati juga menolak penyetaraan wacana penambahan masa jabatan Presiden hingga itu dengan wacana ‘ganti Presiden’. Kedua wacana itu dianggap memiliki kedudukan yang berbeda di mata konstitusi.
“Usulan ‘Jokowi 3 periode’ tidak konstitusional. Sementara usulan ‘ganti Presiden’ itu konstitusional karena penggantian Presiden diatur konstitusi. Namun, meskipun konstitusional, pengusung wacana beberapa tahun lalu tetap mendapatkan intimidasi dan represi,” kata dia.