REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Presiden Irak Barham Saleh pada Selasa (30/8/2022) mendorong pemilihan legislatif awal untuk menyelesaikan krisis politik yang meningkat menjadi bentrokan. Kerusuhan tersebut menewaskan puluhan orang dan melukai ratusan lainnya.
“Menyelenggarakan pemilihan umum awal yang baru sesuai dengan konsensus nasional merupakan jalan keluar dari krisis. Ini menjamin stabilitas politik dan sosial dan menanggapi aspirasi rakyat Irak," ujar Saleh, dilansir Alarabiya, Rabu (31/8/2022).
Saleh membuat pernyataan beberapa jam setelah para pendukung ulama Syiah Irak berpengaruh Muqtada al-Sadr menarik diri dari Zona Hijau di Baghdad. Mereka menarik diri setelah hampir 24 jam terlibat bentrokan dengan tentara dan faksi-faksi Syiah yang didukung oleh negara tetangga, Iran.
Tiga puluh pendukung al-Sadr tewas tertembak dan 570 lainnya terluka dalam pertempuran yang dimulai pada Senin (29/8/2022) ketika loyalis al-Sadr menyerbu istana pemerintah, ketika pemimpin mereka mengumumkan rencana untuk mundur dari politik.
Al-Sadr dan para pendukungnya telah mempelopori seruan untuk pembubaran parlemen, dan menyerukan pemilihan legislatif baru setelah Irak mengalami kelumpuhan politik selama berbulan-bulan. Di bawah konstitusi, parlemen hanya dapat dibubarkan dengan suara mayoritas mutlak, mengikuti permintaan sepertiga dari deputi atau perdana menteri dengan persetujuan presiden.
Dalam pemilihan Oktober lalu, kubu al-Sadr meraih jumlah kursi terbesar di legislatif, dengan 73 kursi. Tetapi masih jauh dari mayoritas. Sejak itu, Irak terperosok dalam kebuntuan politik karena ketidaksepakatan antara faksi-faksi Syiah tentang pembentukan koalisi. Pendukung al-Sadr selama berminggu-minggu telah melakukan aksi duduk di luar parlemen Irak, setelah menyerbu legislatif pada 30 Juli.
Anggota populasi Muslim Syiah yang menjadi mayoritas di Irak tertindas ketika Saddam Hussein memerintah negara itu selama beberapa dekade. Invasi pimpinan Amerika Serikat pada 2003 menggulingkan Saddam, yang merupakan seorang Sunni, dan membalikkan tatanan politik.
Sekarang, kaum Syiah berperang di antara kalangan mereka sendiri setelah sebagian besar pasukan Amerika menarik diri dari Irak. Faksi Syiah yang didukung Iran dan faksi Syiah nasionalis Irak berebut kekuasaan, pengaruh, dan sumber daya negara. Irak dan Iran terlibat perang berdarah pada 1980-an yang menewaskan satu juta orang.
Retorika nasionalis dan agenda reformasi al-Sadr bergema kuat di tengah para pendukungnya, yang sebagian besar berasal dari sektor masyarakat termiskin Irak dan secara historis tertutup dari sistem politik di bawah Saddam. Keputusan al-Sadr meninggalkan politik secara implisit telah memberikan kebebasan kepada para pendukungnya untuk bertindak sesuai keinginan mereka.