REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Pemerintah Rusia mengomentari tentang pergerakan dua kapal perang Amerika Serikat (AS) di Selat Taiwan baru-baru ini. Moskow menilai, aksi tersebut merupakan provokasi sekaligus tidak memfasilitasi penguatan keamanan di kawasan tersebut.
“Kami menganggap perjalanan dua kapal Angkatan Laut AS tanggal 28 Agustus melintasi perairan Selat Taiwan justru sebagai provokasi baru, sebagai bagian dari rantai provokasi yang diarahkan pada penahanan komprehensif Beijing, tekanan tambahan padanya dan destabilisasi situasi di kawasan tersebut secara umum,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova, Rabu (31/8), dikutip laman kantor berita Rusia, TASS.
Zakharova menilai, aksi dua kapal perang AS di Selat Taiwan tidak memfasilitasi penguatan keamanan di kawasan Asia-Pasifik. “Itu justru membuat situasi semakin kompleks dan tidak dapat diprediksi,” ucapnya.
Dia menekankan, Rusia menganggap penyelesaian situasi di Selat Taiwan murni sebagai urusan dalam negeri China. Oleh sebab itu, Beijing berhak mengambil tindakan untuk mempertahankan kedaulatan dan integritas teritorialnya. “Sikap Rusia tetap tidak berubah; hanya ada satu China, pemerintah Republik Rakyat China, dengan Taiwan menjadi bagian tak terpisahkan dari China," kata Zakharova.
Pada 28 Agustus lalu, dua kapal perang AS, yakni USS Antietam dan USS Chancellorsville melakukan transit rutin melewati Selat Taiwan. "Kapal-kapal ini transit melalui koridor di Selat yang berada di luar laut teritorial negara pantai mana pun," kata Armada ke-7 AS dalam sebuah pernyataan.
Karena tak memasuki perairan teritorial mana pun, AS menilai, kebebasan navigasi berlaku sesuai hukum internasional. “Transit kapal melalui Selat Taiwan menunjukkan komitmen AS terhadap Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka. Militer AS terbang, berlayar, dan beroperasi di mana pun yang diizinkan oleh hukum internasional,” kata Armada ke-7 AS.
Militer China pun memantau pergerakan dua kapal perang AS tersebut. Pada 2-3 Agustus lalu, Ketua House of Representatives AS Nancy Pelosi mengunjungi Taiwan. Saat bertemu Presiden Taiwan Tsai Ing-wen, Pelosi menegaskan dukungan Washington terhadap Taipei. Lawatan Pelosi tersebut memicu kemarahan China.
Menanggapi kunjungan Pelosi, Beijing menggelar latihan militer besar-besaran di Selat Taiwan pada 4-7 Agustus lalu. Dalam latihan itu, China mengerahkan seluruh armadanya, yakni udara, darat, dan laut. Beijing bahkan menguji peluncuran rudal balistik. Latihan tersebut tak pelak memanaskan tensi di Selat Taiwan.
China diketahui mengklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya. Namun Taiwan berulang kali menyatakan bahwa ia adalah negara merdeka dengan nama Republik Cina. Taiwan selalu menyebut bahwa Beijing tidak pernah memerintahnya dan tak berhak berbicara atas namanya. Situasi itu membuat hubungan kedua belah pihak dibekap ketegangan dan berpeluang memicu konfrontasi.
AS, walaupun tak memiliki hubungan diplomatik resmi dengan Taiwan, mendukung Taipei dalam menghadapi ancaman China. Presiden AS Joe Biden bahkan sempat menyatakan bahwa negaranya siap mengerahkan kekuatan jika Cina menyerang Taiwan. Isu Taiwan menjadi salah satu faktor yang meruncingkan hubungan Beijing dengan Washington.