Jumat 02 Sep 2022 12:53 WIB

Agen Intelijen Prancis Lacak Muslim karena Pandangan Politik

Badan Intelijen Prancis disebut lacak dan data beberapa tokoh Muslim.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Esthi Maharani
Muslim Prancis serukan stop Islamofobia
Foto: google.com
Muslim Prancis serukan stop Islamofobia

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Badan Intelijen Prancis disebut-sebut melakukan pelacakan dan mendata beberapa tokoh Muslim Prancis. Hal tersebut disebabkan oleh opini politik yang mereka tampilkan.

Informasi ini terungkap dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh saluran radio Europe 1, Selasa (29/8/2022). Mereka melaporkan telah memperoleh "catatan rahasia dari intelijen teritorial Prancis".

Menurut Europe 1, dokumen ini lantas disebarkan ke segelintir pejabat senior, anggota pemerintah, hingga Elysee. Adapun pendataannya dilakukan pada pertengahan Mei, tiga minggu setelah pemilihan presiden putaran kedua yang memastikan kemenangan untuk Presiden Emmanuel Macron.

Menurut catatan yang dikutip oleh outlet media, intelijen teritorial negara itu sampai pada kesimpulan bahwa calon presiden sayap kiri Jean-Luc Melenchon, tersingkir pada putaran pertama pemungutan suara setelah berada di urutan ketiga di belakang Macron dan Marine Le Pen yang sayap kanan.

Jean-Luc Melenchon juga disebut-sebut akan menikmati suara Muslim di negara itu, karena dukungan dari apa yang disebut sebagai influencer dan aktivis Islam yang menyambut dan menyampaikan kondisi mereka.

Dilansir di TRT World, Jumat (2/9), di dalam catatan itu terdapat banyak nama tokoh Muslim di Prancis. Termasuk di antaranya pengacara Rafik Chekkat dan anggota asosiasi Agir contre l'islamophobia (Action Against Islamaphobia - ACI) sekaligus jurnalis independen Siham Assbague. Keduanya digambarkan sebagai sosok "Islamis", khususnya karena telah mengambil sikap terhadap sentimen anti-Muslim atau kolonialisme.

Selain Chekkat dan Assbague, catatan itu juga mengacu pada Vincent Souleymane, Hani Ramadan, serta Farid Slim. Semuanya digambarkan sebagai "pengkhotbah" atau "imam" dari Ikhwanul Muslimin. Seorang jurnalis Anadolu Agency, Feiza Ben Mohamed, juga dilacak dan didaftarkan oleh badan intelijen teritorial.

Liputan Europe 1 mengungkapkan, intelijen teritorial Prancis mendaftarkan namanya sebagai jurnalis "pro-Erdogan", mengacu pada Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Hal ini karena kantor berita tempat dia bekerja berbasis di Türkiye.

Penyiar radio mencatat, Ben Mohamed juga dilacak karena mempublikasikan serangkaian cuitan yang membenarkan pilihannya untuk memilih Jean-Luc-Melenchon. Dalam unggahannya, calon pemimpin ini dianggap sebagai satu-satunya kandidat yang kredibel dan tidak memiliki ambisi menggunakan Muslim, untuk membuat orang melupakan masalah negara tersebut.

Intelijen teritorial Prancis memiliki banyak data tentang Muslim Prancis, karena telah menyatakan dukungan mereka untuk Melenchon, pemimpin partai La France Insoumise (LFI), yang menyuarakan penentangan terhadap sentimen anti-Muslim di Prancis beberapa kali.

Dengan mendaftarkan nama-nama Muslim ini, tindakan intelijen teritorial telah membangkitkan perdebatan tentang "Islamo-kiri". Ini merupakan teori yang sering didorong oleh Le Pen dan sesama politisi sayap kanan Eric Zemmour, bersama dengan pemerintah Prancis.

Pada akhir 2020, gagasan yang disebarluaskan sejak tahun 2002 oleh sayap kanan ini, telah mendapat paparan media yang kuat. Sementara, menteri pendidikan nasional saat itu Jean-Michel Blanquer, serta mantan menteri pendidikan tinggi Dominique Vidal, menggunakan istilah tersebut untuk mencela dugaan kedekatan dan kelemahan politisi sayap kiri Prancis tertentu terhadap Islam.

Tidak hanya itu, para anggota pemerintah Prancis ini juga melontarkan tuduhan terhadap para akademisi dan peneliti Prancis. Mereka menyatakan universitas-universitas itu diganggu oleh para akademisi yang bersekutu dengan kaum Islamis untuk memecah belah Prancis.

Dalam siaran pers yang diterbitkan pada Februari 2021 untuk menanggapi pernyataan Vidal, Pusat Penelitian Ilmiah Nasional (CNRS) telah menekankan "Islamo-kiri" atau slogan politik yang digunakan dalam debat publik, tidak sesuai dengan realitas ilmiah apa pun.

Selain itu, CNRS mengecam upaya untuk mendelegitimasi berbagai bidang penelitian, seperti studi postkolonial, interseksional, atau rasial, dengan menyatakannya sebagai "Islamo-kiri."

Pada 2019, sebuah kelompok ultra-kanan "French of stock" secara daring menerbitkan daftar beberapa ratus nama yang dituduh sebagai "Islamo-kiri". Jurnalis Anadolu Agency Feiza Ben Mohamed termasuk di antara mereka.

Pada akhir Juli, Komite Antar Kementerian untuk Pencegahan Kenakalan dan Radikalisasi (CIPDR) telah menargetkan, khususnya di jejaring sosial, beberapa warga negara Prancis yang memerangi kebencian anti-Muslim, termasuk Ben Mohamed.

Setelah muncul daftar ini oleh negara, Ben Mohamed kerap mengalami gelombang pelecehan, agresi verbal dan penghinaan di platform media sosial. Hal ini berlangsung beberapa minggu dan mempengaruhi kehidupan pribadi dan profesionalnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement