Jumat 02 Sep 2022 20:52 WIB

Memikirkan Nafkah Keluarga

Membuat gembira seisi keluarga jadi penebus dosa.

Red: Irwan Kelana
 Seorang pria yang mengais bahan daur ulang untuk mencari nafkah, tengah, berjalan melewati bangau Marabou yang sedang makan di gunung garasi di tengah asap dari pembakaran sampah di Dandora, tempat pembuangan sampah terbesar di ibu kota Nairobi, Kenya Selasa, 7 September 2021.
Foto: AP/Brian Inganga
Seorang pria yang mengais bahan daur ulang untuk mencari nafkah, tengah, berjalan melewati bangau Marabou yang sedang makan di gunung garasi di tengah asap dari pembakaran sampah di Dandora, tempat pembuangan sampah terbesar di ibu kota Nairobi, Kenya Selasa, 7 September 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh  Syamsul Yakin

 

Ada pahala dan ada penebus dosa bagi orang yang memikirkan nafkah keluarga. Nabi bersabda, "Nafkah yang diberikan seorang kepala rumah tangga kepada keluarganya bernilai sedekah. Sungguh, seseorang diberi ganjaran meski sesuap nasi yang dia masukkan ke dalam mulut keluarganya." (HR. Bukhari dan Muslim). Bayangkan bagaimana kalau sehari tiga kali memberi makan keluarga selama bertahun-tahun lamanya.

Terkait dengan hadits ini, memberi nafkah untuk diri sendiri dan asisten rumah tangga juga dihitung sedekah. Nabi bersabda, "Harta yang dikeluarkan sebagai makanan untukmu dinilai sebagai sedekah untukmu. Begitu pula makanan yang engkau berikan  kepada anakmu, itu pun dinilai sedekah. Begitu juga makanan yang engkau berikan  kepada istrimu, itu pun bernilai sedekah untukmu. Juga makanan yang engkau berikan kepada pembantumu, itu juga termasuk sedekah.” (HR  Ahmad).

Dalam kitab al-Mawaidz al-Ushfuriyah, Syaikh Muhammad bin Abu Bakar menceritakan tentang kegelisahan Salman al-Farisi ihwal nafkah keluarganya. Ali bin Abi Thalib  sebagai sahabatnya, malah merespons kegundahan Salman dengan mengutip hadits Nabi, "Orang yang tidak merasa gelisah memikirkan  nafkah keluarga, tidak satu bagian pun untuknya surga."

Ali lalu meyakinkan Salman bahwa surga merindukan orang yang gelisah memikirkan nafkah halal untuk menghidupi keluarganya. Nabi bersabda, seperti tertulis dalam al-Mawaidz, "Orang yang memiliki keluarga tidak akan merasa bahagia selamanya (sepanjang memberi nafkah keluarganya dengan yang haram)."  Tentu, begitu juga sebaliknya.

Terkait dengan ini, Ali menuturkan satu kisah tentang ada penebus dosa bagi orang yang memikirkan nafkah keluarga.  "Suatu  hari seorang laki-laki datang menghadap Nabi. Lalu dia berkata, ‘Ya Rasulullah, aku telah berbuat dosa. Aku mohon   bersihkanlah diriku.’  Nabi bertanya, ‘Dosa apakah itu?’ Namun orang itu menjawab, ‘Aku malu mengatakannya.’  Dengan tegas Nabi bersabda, ‘Kamu malu mengatakannya kepadaku, tetapi kamu tidak malu kepada Allah. Padahal Allah melihatmu.  Bangunlah dan keluarlah agar api neraka tidak menghinggapi kami.’ Orang itu kemudian keluar meninggalkan Nabi dalam keadaan kecewa, putus asa, dan menangis."

Ternyata, fragmen ini menarik perhatian Jibril. Lalu Jibril mendatangi Nabi seraya berkata, "Wahai Muhammad, mengapa kamu membuat pendosa itu berputus asa, padahal dia memiliki penebus dosa kendati dosanya itu banyak?" Sejurus Nabi bertanya, "Apa penebus dosanya itu?"

Kemudian Jibril menceritakan latar belakang itu kepada Nabi, "Laki-laki itu mempunyai anak yang masih kecil. Anak kecil itu selalu menyambut kepulangannya di rumah. Setiap kali pendosa itu pulang, dia selalu memberi anak kecil itu makanan atau apa saja yang membuat anak kecil itu gembira. Rasa gembira anak kecil itulah yang menjadi penebus bagi  dosa-dosanya."

Kesimpulan dari kisah ini, tulis Syaikh Muhammad bin Abu Bakar bahwa membuat gembira seisi keluarga jadi penebus dosa dan penyelamat dari sengatan api neraka. Untuk itu anak dan istri adalah cobaan yang harus diperjuangkan untuk diberi nafkah yang halal. Allah menegaskan, "Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah ada pahala yang besar" (QS. al-Taghabun/54: 15).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement