Sabtu 03 Sep 2022 14:33 WIB

Israel Wajibkan Orang Asing Melapor Jika Jatuh Cinta pada Warga Palestina

Jika mereka menikah, akan diminta pergi setelah 27 bulan untuk periode cooling-off.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Friska Yolandha
Seorang gadis bersandar pada ayahnya saat mereka menghabiskan waktu di sebuah pantai di Kota Gaza, Minggu, 28 Agustus 2022.
Foto: AP Photo/Fatima Shbair
Seorang gadis bersandar pada ayahnya saat mereka menghabiskan waktu di sebuah pantai di Kota Gaza, Minggu, 28 Agustus 2022.

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Aturan baru menyatakan orang asing harus memberi tahu Kementerian Pertahanan Israel jika mereka jatuh cinta dengan seorang Palestina di wilayah pendudukan Tepi Barat. Jika mereka menikah, akan diminta pergi setelah 27 bulan untuk periode cooling-off setidaknya setengah tahun.

Unit Kementerian Pertahanan Israel bertanggung jawab atas administrasi pendudukannya atas wilayah Palestina, Cogat, mengeluarkan perintah baru setebal 97 halaman. Aturan ini berjudul "Prosedur untuk masuk dan tinggal orang asing di wilayah Yudea dan Samaria" atau merujuk pada nama yang digunakan Israel untuk Tepi Barat.

Baca Juga

Aturan ini pertama kali diterbitkan pada Februari, tetapi pengenalannya telah tertunda. Dokumen tersebut mengatakan, aturan ini menetapkan untuk menentukan tingkat otoritas dan cara memproses aplikasi dari orang asing yang ingin memasuki wilayah Tepi Barat.

Aturan baru ini akan mulai berlaku pada Senin (5/9/2022). Ini adalah bagian dari pengetatan aturan pada orang asing yang tinggal di, atau ingin mengunjungi Tepi Barat. Peraturan yang tercantum dalam dokumen panjang mencakup permintaan pada orang asing untuk memberi tahu pihak berwenang Israel dalam waktu 30 hari setelah memulai hubungan dengan pemegang kartu penduduk Palestina.

Penerapan aturan baru ini mengutip perjanjian perdamaian sementara yang dicapai pada 1990-an. Dalam kesepakatan ini membutuhkan persetujuan Israel untuk memberikan tempat tinggal kepada pasangan dan anak-anak warga Palestina di Tepi Barat dan Gaza dan menyetujui izin pengunjung.

Aturan baru tidak berlaku untuk mereka yang mengunjungi Israel serta bagian Tepi Barat yang dikuasai Palestina atau permukiman Yahudi. Dalam kasus seperti itu, masuk melibatkan otoritas imigrasi Israel.

Otoritas Palestina  mengatakan, Israel membawa peraturan apartheid yang memaksakan realitas satu negara dan dua sistem yang berbeda. Sedangkan kelompok Right to Enter mengeluhkan praktik diskriminatif, kejam dan sewenang-wenang oleh otoritas Israel yang menyebabkan kesulitan kemanusiaan yang luar biasa bagi pasangan asing. Keputusan itu  mengakibatkan mereka dipisahkan secara paksa dari keluarga mereka di Tepi Barat.

Kelompok itu menyatakan, prosedur baru hanya akan memformalkan dan memperburuk banyak pembatasan yang ada. "Akan memaksa banyak keluarga untuk pindah atau tinggal di luar negeri untuk mempertahankan kesatuan keluarga mereka," ujarnya.

Selain aturan tersebut, peraturan baru juga memberlakukan pembatasan pada universitas Palestina termasuk kuota untuk 150 visa pelajar dan 100 dosen asing. Sementara tidak ada batasan seperti itu di Israel.

Pengusaha dan organisasi bantuan mengatakan, mereka juga akan sangat terpengaruh atas aturan baru tersebut. Aturan menetapkan batasan ketat pada durasi visa dan perpanjangan visa, dalam banyak kasus mencegah orang bekerja atau menjadi sukarelawan di Tepi Barat selama lebih dari beberapa bulan.

"Ini tentang rekayasa demografis masyarakat Palestina dan mengisolasi masyarakat Palestina dari dunia luar," kata direktur eksekutif organisasi non-pemerintah Israel HaMoked Jessica Montell yang telah mengajukan petisi ke Pengadilan Tinggi Israel terhadap peraturan tersebut.

"Mereka membuat jauh lebih sulit bagi orang untuk datang dan bekerja di lembaga-lembaga Palestina, menjadi sukarelawan, berinvestasi, mengajar, dan belajar," ujarnya.

Komisi Eropa mengatakan, telah menyatakan keprihatinan tentang pembatasan mahasiswa asing dan akademisi di universitas Palestina ke tingkat tertinggi dari otoritas Israel. Melalui program Erasmus+, 366 mahasiswa dan staf pendidikan tinggi Eropa pergi ke Tepi Barat pada 2020. Pada saat yang sama, 1.671 orang Eropa berada di institusi Israel.

"Dengan Israel sendiri yang sangat diuntungkan dari Erasmus+, Komisi menganggap bahwa hal itu harus memfasilitasi dan tidak menghalangi akses mahasiswa ke universitas-universitas Palestina," kata Komisaris Eropa Mariya Gabriel.

Selain itu, aturan baru menetapkan bahwa pengunjung asing yang datang dengan izin Tepi Barat saja diwajibkan untuk melakukan perjalanan melalui penyeberangan darat dengan Yordania. Mereka hanya dapat menggunakan bandara Ben Gurion Israel dalam kasus luar biasa.

Pemegang paspor dari negara-negara ini, termasuk warga negara ganda, hanya dapat memasuki Tepi Barat dalam kasus-kasus luar biasa dan kemanusiaan untuk jangka waktu terbatas. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement