Sabtu 03 Sep 2022 17:42 WIB

CIPS: Kenaikan Harga Pangan Berdampak Negatif ke Daya Beli Petani

CIPS ingatkan sebagian besar petani adalah konsumen yang terdampak kenaikan harga

Warga antre membeli telur ayam saat digelar Operasi Pasar Telur Ayam Ras di Pasar Minggu, Jakarta. Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyatakan kenaikan harga pangan juga mempengaruhi daya beli petani karena mereka juga termasuk konsumen.
Foto: ANTARA/Indrianto Eko Suwarso
Warga antre membeli telur ayam saat digelar Operasi Pasar Telur Ayam Ras di Pasar Minggu, Jakarta. Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyatakan kenaikan harga pangan juga mempengaruhi daya beli petani karena mereka juga termasuk konsumen.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyatakan kenaikan harga pangan juga mempengaruhi daya beli petani karena mereka juga termasuk konsumen.

”Kenaikan harga pangan tidak serta merta berdampak pada pendapatan petani karena petani Indonesia didominasi oleh mereka yang tidak memiliki lahan,” tutur Head of Agriculture dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya Alta.

Penelitian CIPS menyebutkan, sebanyak dua pertiga petani di Indonesia adalah net food consumers yang artinya mereka mengonsumsi dan membeli pangan lebih banyak dari pada pangan yang mereka tanam. Untuk itu, harga pangan yang tinggi akan memengaruhi kemampuan mereka untuk membelinya.

Para petani kecil mengkontribusikan sekitar 90 persen dari produksi total beras di Indonesia. Setiap petani itu memiliki lahan rata-rata kurang dari 0,8 hektar.

Berdasarkan data BPS, Nilai Tukar Petani (NTP) pada Juli 2022 adalah sebesar 104,25 atau turun 1,61 persen dibanding NTP bulan sebelumnya. Salah satu indikator yang dilihat adalah kenaikan biaya konsumsi rumah tangga petani dan biaya produksi yang dikeluarkan petani.

Aditya menambahkan, meningkatkan daya saing petani merupakan suatu hal yang perlu diikuti kebijakan konkret. Penelitian CIPS menunjukkan, akses petani terhadap input pertanian berkualitas perlu diprioritaskan supaya mereka bisa menggunakannya sesuai dengan kebutuhan.

"Yang sering terjadi di lapangan adalah, adopsi Kartu Tani berjalan lambat dan hal ini memengaruhi akses mereka pada input pertanian," ucap dia.

Selain itu, menurut dia, dibutuhkan evaluasi pada penerima subsidi pertanian. Dibutuhkan kriteria yang jelas sehingga ada waktunya penerima subsidi bisa ”lulus” dan berdaya sehingga subsidi bisa dialihkan kepada petani lain yang juga membutuhkan.

Perbaikan dan pembangunan infrastruktur pendukung pertanian juga diperlukan untuk menambah efisiensi proses produksi. Dalam konteks produksi telur, misalnya, pembangunan infrastruktur untuk mendorong terciptanya rantai pasok yang lebih efisien melalui pembangunan jalan yang mempermudah pengangkutan pakan dari sentra produksi ke peternakan dapat dilakukan. Kehadiran infrastruktur dapat membuat proses distribusi jagung untuk pakan ternak dapat dilakukan dengan biaya lebih murah.

Pembukaan impor jagung untuk swasta juga akan mempermudah peternak dalam mendapatkan bahan baku untuk pakan ternaknya dan berdampak pada skala ekonomi peternakan mereka. Kelancaran pasokan jagung untuk pakan, lanjut Aditya, akan meningkatkan daya saing peternakan dan berdampak positif pada produktivitas.

Modernisasi lewat penggunaan teknologi dapat dilakukan melalui investasi pada sektor pertanian. Selain mendapatkan sumber daya untuk penggunaan alat-alat yang lebih modern, proses transfer teknologi juga akan mengembangkan kapasitas petani-peternak.

”Pemerintah perlu mewaspadai naiknya harga beberapa komoditas pangan. Pergerakan harga seharusnya sudah bisa diwaspadai sejak awal tahun agar tidak terjadi peningkatan yang tidak bisa dijangkau oleh masyarakat. Selain membanjiri pasar dengan pangan, fluktuasi harga bisa dicegah dengan membuat rantai distribusi pangan menjadi lebih efisien,” jelasnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement