Sabtu 03 Sep 2022 17:59 WIB

Gelar Diskusi Kebangsaan, SAS Institute Ingatkan Soal Harapan Dunia kepada Indonesia

Muslim Indonesia menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.

Diskusi Kebangsaan sekaligus serah terima jabatan Direktur Ekskutif SAS (Said Aqil Siraj)  Institute kepada Dr. Sadullah Affandy yang sebelumnya dijabat Dr. Imdadun Rahmat di sekretariat SAS Institute Gedung Wisma Nugra Santana Jl. Sudirman, pada Jumat (1/9/2022).
Foto: Dok Republika
Diskusi Kebangsaan sekaligus serah terima jabatan Direktur Ekskutif SAS (Said Aqil Siraj) Institute kepada Dr. Sadullah Affandy yang sebelumnya dijabat Dr. Imdadun Rahmat di sekretariat SAS Institute Gedung Wisma Nugra Santana Jl. Sudirman, pada Jumat (1/9/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hari ini umat Islam di dunia tak bisa lagi mengharap kebangkitan Islam dari negara-negara Arab di Timur Tengah. Umat Islam di sana saling berperang dan memusuhi.

Sejak terbentuknya negara bangsa, dunia telah berubah. Saat ini dunia sedang manaruh harapan besar pada Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia yang memiliki wajah keislaman yang moderat, toleran, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. 

Baca Juga

Hal ini disampaikan Kiai Said Aqil Siroj dalam acara Diskusi Kebangsaan sekaligus serah terima jabatan Direktur Ekskutif SAS (Said Aqil Siraj)  Institute kepada Dr. Sadullah Affandy yang sebelumnya dijabat Dr. Imdadun Rahmat di sekretariat SAS Institute Gedung Wisma Nugra Santana Jl. Sudirman, pada Jumat (1/9/2022). 

Dalam kesempatan tersebut, Kiai Said mengulas panjang lebar sejarah runtuhnya kekhaifahan Islam (Turki Utsmani), kemudian disusul dengan munculnya negara-bangsa, hingga tumbuh dan berkembang bibit-bibit kelompok-kelompk Islam radikal yang nyaris membawa kehancuran dan keruntuhan Islam di Timur Tengah.

“Jika tidak ada Al-Azhar di Mesir di Timur Tengah dan NU di Indonesia, Islam dan umat Islam akan mudah dibawa ke tubir kehancuran. Beruntung Indonesia memiliki ulama seperti Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari yang berhasil menyatukan antara keislaman dan kebangsaan yang bisa menjadi pondasi dan perekat bagi kesatuan umat,” ujar Kiai Said.

Di Timur Tengah, kata Kiai Said, islam dan nasionalisme tidak bisa disatukan dan bisa saling membelakangi. Di Timur Tengah kita tidak akan menemui orang seperti Hasyim Asyari yang merupakan seorang ulama sekaligus nasionalis.

Di Timur Tengah, tempat kelahiran Islam, ulama dan nasionalis memiliki agenda dan perjuangannya sendiri-sendiri. Karena itu, kata Kiai Said, pernyataan Kiai Hasyim Asyari “hubbul wathan minal iman” bukanlah rumusan sederhana. Di dalamnya mengandung penegasan bahwa nasionalisme memiliki basis teologi di dalam Islam.   

Dr. Sadullah Affandy, sebagai Direktur Ekskutif SAS Institute yang baru terpilih, berharap SAS Institute bisa merekam, mengabadikan, sekaligus dapat melanjutkan pikiran dan gagasan besar Kiai Said tentang keislaman, kebangsaan dan kemanusiaan.

Sebagai tokoh berpengaruh urutan 19 dari 500 tokoh Dunia Muslim versi Lembaga riset di Jordania, Kiai Said merupakan tokoh dan guru bangsa yang melanjutkan cita-cita dan perjuangan guru-guru bangsa sebelumnya seperti Nurcholis Majid, Gus Dur, Syafii Maarif.

“Mudah-mudahan SAS Institute bisa menerjemahkan dan menafsirkan gagasan, pikiran, serta ide-ide besar Kiai Said dalam memperjuangkan Islam rahmatan lil alamin ini,“pungkasnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement