Oleh : Yusi Guman Sari, Assistant Director Bank Indonesia
REPUBLIKA.CO.ID, Pemerintah dikabarkan akan menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi seperti Solar dan Pertalite per 1 September 2022. Hal tersebut menyebabkan masyarakat sudah mengantre untuk mengantisipasi kenaikan BBM tersebut. Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga menyampaikan keputusan kenaikan kedua harga BBM subsidi menunggu keputusan dan arahan dari pemerintah. Sementara Presiden Joko Widodo menyampaikan pemerintah masih mengkalkulasi secara hati-hati rencana kenaikan harga BBM jenis Solar dan Pertalite. Meski pada akhirnya pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi pada Sabtu (4/9/2022).
Subsidi BBM sendiri diketahui memberikan tekanan besar kepada APBN. Apabila subsidi ditambah setidaknya APBN harus meningkat sebesar Rp 150 triliun, sementara subsidi sendiri sudah mencapai Rp 502 triliun sehingga untuk menghemat APBN maka kenaikan BBM perlu dilakukan.
Adapun efek kenaikan harga BBM subsidi tersebut diperkirakan akan berdampak pada inflasi, kenaikan suku bunga hingga pasokan pangan. Hal ini selanjutnya akan memunculkan permasalahan terutama ketika terjadi penurunan daya beli masyarakat.
Atas hal tersebut, pemerintah diharapkan mempersiapkan mitigasi atas pilihan yang akan diambil sehingga menjadi win-win solutions dengan mempertimbangkan kondisi nasional dan global saat ini. Kemudian, bagaimanakah permasalahan subsidi ini jika dilihat dari sudut pandang Islam?
Baca juga : Pemerintah Resmi Naikkan Harga BBM, Warga: Kecewa
Menurut pandangan Islam, subsidi merupakan bantuan keuangan yang berasal dari negara. Subsidi merupakan hak khalifah (negara) yang boleh dilakukan karena pemberian subsidi termasuk pemberian harta milik negara kepada individu rakyat.
Diriwayatkan pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khatthab pernah melakukan pemberian lahan pertanian kepada masyarakat untuk diusahakan dan diutamakan untuk kepentingan umum. Amirul Mukminin Umar bin Khattab juga mendirikan Dewan Anugerah yang pada masa itu fokus pada penetapan subsidi yang berhak diterima oleh para pejuang, termasuk besaran gaji dan waktu pembagiannya. Pemberian subsidi tersebut dimaksudkan untuk meringankan beban para pejuang dalam menghidupi keluarganya.
Subsidi sendiri boleh diberikan negara untuk sektor pelayanan umum yang dilaksanakan oleh negara seperti: 1) jasa transportasi umum atau al-muwashalat al- ‘ammah; 2) jasa telekomunikasi atau al-khidmat al baridiyah; dan 3) jasa perbankan Syariah atau al-khidmat al mashrifiyah. Sedangkan untuk subsidi pada sektor energi hanya diberikan negara kepada rakyat. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Kaum muslim bersekutu dalam tiga hal: air, padang dan api” (HR Abu Dawud).
Hal ini menjelaskan air, padang, dan api adalah kepentingan umum yaitu barang yang jika tidak terpenuhi dalam suatu masyarakat maka berpotensi menciptakan konflik dalam mendapatkannya. Klasifikasi bahan tambang terdapat dua bagian yaitu bahan tambang yang jumlahnya terbatas dan yang jumlahnya tidak terbatas.
Untuk bahan tambang yang jumlahnya terbatas boleh dimiliki secara pribadi dan untuk itu berlaku ketentuan 20 persen harta yang harus dikeluarkan sebagaimana hukum rikaz (temuan). Sementara bahan tambang yang jumlahnya tidak terbatas termasuk kategori milik umum dan tidak boleh dimiliki secara pribadi.
Baca juga : Harga BBM Naik, Pemerintah Diminta Waspada Dampak pada Pertumbuhan Ekonomi
Yang menjadi dalil untuk hal tersebut adalah sebagaimana yang diriwayatkan dari Byadh ibnu Hamal: “Saya mengatakan: Kutaibah bin Said menceritakan kepada mereka Muhammad bin Yahya bin Qois al-Makribi, telah menceritakan kepada saya, Bapakku dari Tsumamah bin Syurihil dari Sumaimi bin Qois, dari Sumair, dari Abyadho bin Hammal, sesungguhnya dia bermaksud meminta kepada Rasulullah SAW untuk mengelola tambang garam. Lalu, Rasulullah memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki dari majelis tersebut bertanya: Wahai Rasulullah, tahukah engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir, kemudian Rasulullah bersabda: Dia telah menariknya”. Dengan demikian energi seperti BBM dapat dikategorikan sebagai barang kepentingan umum yang subsidinya hanya diberikan negara kepada rakyat.
Selanjutnya terkait dengan cara pendistribusian kepada rakyat, tidak terdapat cara tertentu yang diatur. Khalifah dapat memberikan kepada rakyat secara gratis atau menjual sesuai harga pasar atau sesuai biaya produksi atau lainnya. Kondisi di Indonesia sendiri sejalan dengan hal tersebut. Sebagaimana dalam pasal 33 UUD 1945 ayat 3 diatur bahwa negara sebagai penguasa barang untuk kepentingan publik dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, serta negara memiliki mandat untuk mengontrol kebijakan yang dibuat dan dilakukan dengan semangat demokrasi ekonomi.
Berdasarkan hal tersebut di atas, dalam pandangan Islam, subsidi BBM boleh diberikan karena hukum Syariah menyebutkan negara boleh memberikan hartanya kepada individu rakyat. Hal ini merupakan hak khalifah dalam mengelola hak milik negara (milkiyah al-daulah).
Dengan mempertimbangkan kemaslahatan rakyat dan pemerataan distribusi kekayaan, khalifah boleh menentukan untuk memberikan harta milik negara kepada suatu golongan maupun suatu sektor usaha tertentu. Dalam suatu riwayat diceritakan Nabi SAW membagikan fai’ Bani Nadhir (harta milik negara) tidak kepada kaum Anshar melainkan hanya kepada kaum Muhajirin.
Hal tersebut karena Nabi SAW melihat adanya kesenjangan ekonomi antara Anshar dan Muhajirin. Allah SWT juga mengingatkan mengenai pentingnya masalah distribusi harta sebagaimana dalam surah Al Hasyr ayat 7: “Seharusnya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja diantara kamu, apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah (QS al-Hasyr:7).”
Baca juga : BLT BBM untuk 2,7 Juta Keluarga Miskin di Jabar Mulai Disalurkan
Dengan demikian, kebijakan memberikan subsidi khususnya dalam hal ini subsidi BBM, sejatinya boleh dilakukan untuk tujuan kemaslahatan rakyat, namun demikian dalam menentukan besarnya subsidi yang akan diberikan harus dilakukan sesuai dengan aturan syariat dan berhati-hati dengan memperhatikan unsur keadilan. Demikian juga untuk menentukan pengurangan subsidi yang selama ini telah diberikan, perlu mempertimbangkan dampak yang akan ditimbulkan sehingga tidak menyebabkan ketimpangan ekonomi yang semakin lebar.