REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat pertahanan Anton Aliabbas menilai, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap operasi militer di Papua, menyusul terjadinya kasus dugaan pembunuhan disertai mutilasi yang melibatkan sejumlah anggota TNI AD di Mimika. Menurut Anton, kasus tersebut sebaiknya tidak berhenti pada ranah hukum.
"Sudah semestinya kasus ini tidak hanya diselesaikan dengan penghukuman terhadap mereka yang terlibat. Penting juga kiranya bagi Panglima TNI untuk merealisasikan evaluasi secara menyeluruh terkait gelar operasi di Papua," kata Anton dalam keterangannya, Ahad (4/9/2022).
Apalagi, sambung dia, Andika pernah mengungkapkan adanya kebutuhan perubahan strategi yang bersifat jangka panjang dan berlanjut. Sebab, Andika ingin pelaksanaan tugas dan operasi satuan TNI di Papua dan Papua Barat direncanakan sama dengan daerah lain.
Meski demikian, Anton menyebut, sejauh ini, data rinci perihal pelaksanaan operasi dan gelaran pasukan di Papua dan Papua Barat dalam menghadapi Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang dapat diakses publik kurang tersedia. Padahal, ia menjelaskan, dengan adanya data ini, setidaknya publik dapat mengetahui pendekatan keamanan yang dilakukan pemerintah, termasuk berapa sebenarnya estimasi OPM yang dihadapi.
"Kejelasan informasi ini juga penting untuk melihat apakah langkah yang dilakukan dapat dikategorikan proporsional atau tidak. Meskipun tidak ada standar baku bagi pemerintah dalam menghadapi peperangan asimetris, pendekatan keamanan yang eksesif dapat membuka ruang terjadinya tindak pidana termasuk pelanggaran HAM," jelas Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) ini.
Selain itu, Anton menegaskan, kasus mutilasi ini hendaknya juga dijadikan momentum untuk penguatan pengawasan terhadap personel dan persenjataan militer. Termasuk mempertimbangkan ide penerapan pertanggungjawaban komando.
Dia mengatakan, sekalipun kasus ini adalah sifatnya personal, kasus pembunuhan yang didasari modus penjualan senjata kepada warga sipil di daerah konflik tetap tidak dapat dianggap sepele. Terlebih, tindak pidana ini melibatkan personel satuan tempur organik.
"Temuan dalam penyelidikan konteks pertanggungjawaban komando akan membantu pimpinan TNI dalam penyempurnaan mekanisme pengawasan prajurit dan penggunaan alutsista di Papua," ujarnya.
Anton mengungkapkan, berdasarkan laporan riset yang dilakukan Aliansi Demokrasi Untuk Papua (ALDP) yang dilansir Juli 2022 jelas menunjukkan adanya keterlibatan aparat keamanan dalam jejak jual beli senjata api dan amunisi ilegal di Papua. Apalagi, selama ini Papua dikenal sebagai salah satu area ‘hotspot’ di Indonesia.
Ia menuturkan, jika merujuk pada laporan tersebut, maka akan terlihat ada kecenderungan kasus jual-beli senpi dan amunisi ilegal merupakan sebuah fenomena yang terus berulang. "Artinya, pendekatan yang dilakukan masih belum efektif untuk mencegah insiden terjadi kembali serta tidak ada efek jera yang dihasilkan dari langkah yang telah diambil," jelas Anton.
Dia menekankan, upaya serius, nyata dan sungguh-sungguh yang dilakukan pimpinan TNI dalam menindaklanjuti kasus mutilasi tentunya akan berkontribusi memitigasi meluasnya ekses dari insiden ini. Langkah tersebut, kata Anton, harus dijadikan salah satu bagian dari realisasi perubahan pendekatan militer di Papua. Sebab, jelasnya, kasus ini merupakan tantangan nyata bagi ide pendekatan humanis Andika Perkasa, yang akan segera masuk usia pensiun pada November 2022 mendatang.
"Sekaligus langkah ini akan jadi pembuktian apakah semangat 'merebut hati dan pikiran' masyarakat Papua hanya berhenti pada jargon atau tidak," tegas Anton.
Sebelumnya diberitakan, empat warga sipil diduga dibunuh dan dimutilasi di Timika, Kabupaten Mimika, Papua. Potongan tubuh para korban dimasukkan ke dalam karung dan dibuang ke Sungai Pigapu, Distrik Iwaka.
Dua di antara enam tersangka oknum TNI itu merupakan perwira, yakni Mayor Inf HF dan Kapten Inf DK. Sedangkan empat prajurit lainnya yang ditetapkan sebagai tersangka masing-masing berinisial Praka PR, Pratu RAS, Pratu RPC dan Pratu R.
Kemudian, empat tersangka berasal dari warga sipil. Mereka berinisial J, R, R, dan U. Sehingga total ada 10 tersangka.