REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengungkapkan 23 ragam temuan rangkaian tindak pidana obstruction of justice dalam penyidikan kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat (J). Ketua Tim Invetigasi Komnas HAM, Mohammad Choirul Anam mengatakan, ragam temuan obstruction of justice itu sudah disampaikan dalam kesimpulan resmi yang diserahkan kepada Kapolri Listyo Sigit Prabowo lewat Tim Gabungan Khusus Polri pada Senin (1/9/2022).
Dalam laporan itu, kata Anam, ada dua jenis pelanggaran HAM yang terjadi dalam kasus kematian Brigadir J. Pertama terkait dengan extra judicial killing. Yakni kematian Brigadir J yang terjadi akibat pembunuhan di luar hukum dan peradilan. Kemudian, obstruction of justice, berupa penghalang-halangan dalam pengungkapan kasus kematian Brigadir J di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo, Kompleks Polri Duren Tiga 46 di, Jakarta Selatan (Jaksel), Jumat (8/7/2022).
Terkait obstruction of justice, kata Anam, Komnas HAM membagi ke dalam dua kategori, yaitu pembuatan skenario dan rekayasa palsu atas kasus kematian Brigadir J. “Dalam keterkaitannya dengan pembuatan skenario tersebut, ada sedikitnya 17 temuan obstruction of justice yang didapati oleh Komnas HAM,” kata Anam, dalam hasil resmi penyelidikannya, yang Republika.co.id kutip, Ahad (4/9/2022).
Komnas HAM menemukan tiga garis peristiwa, yaitu mengkonsolidasi saksi-saksi, mengkonsolidasi tempat kejadian perkara, pembuatan narasi palsu, dan penggunaan pengaruh jabatan. Dalam hal mengkonsolidasi saksi, dilakukan penyeragaman kesaksian dan pengakuan oleh para saksi dalam kasus kematian Brigadir J itu.
“Penyeragaman saksi itu, baik mengenai latar belakang peristiwa, tempat kejadian perkara, dan alibi keberadaan FS (Ferdy Sambo) sebagai tersangka utama,” kata Anam.
Sambo turut melakukan instruksi kepada para ajudan yang terlibat, maupun mengetahui peristiwa kematian Brigadir J itu. “Dalam instruksi tersebut, dilakukan untuk mempelajari soal penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian dan penggunaan senjata api,” kata Anam. Mereka juga menghapus dan menghilangkan sesuatu yang merugikan penyidikan.
Dalam hal konsolidasi TKP, Komnas HAM menemukan perusakan, pengubahan dari bentuk sesungguhnya lokasi di mana terjadinya pembunuhan Brigadir J. Termasuk juga pengubahan tempat terjadinya kekerasan seksual penyebab Brigadir J dibunuh.
Konsolidasi TKP tersebut, berlanjut pada perusakan, pengambilan paksa, menyembunyikan, menghancurkan, dan pengilangan barang bukti terjadinya pembunuhan. “Berupa decoder CCTV, dan CCTV di TKP, dan di sekitar TKP di Duren Tiga 46, juga di Saguling III,” terang Anam. Hal lainnya, juga dengan temuan adanya tindakan pidana atas penanganan olah TKP yang tak sesuai prosedur.
“Adanya pembiaran terhadap pihak-pihak yang tidak memiliki otoritas untuk memasuki TKP. Dan adanya upaya untuk melakukan sterilisasi, atau pembersihan TKP, dan wilayah sekitar rumah dinas FS (Irjen Sambo), dan menjauhkan kerja-kerja wartawan di sekitar TKP,” kata Anam.
Dalam pembuatan skenario palsu, tim Komnas HAM menemukan adanya aksi-aksi pengibulan dengan pembuatan narasi palsu. “Narasi palsu tersebut menyatakan bahwa peristiwa yang terjadi di Duren Tiga 46 dilatarbelakangi tindakan Brigadir J yang melakukan pelecehan seksual sambil menodongkan senjata api terhadap PC (Putri Candrawathi Sambo), serta menembak Bharada RE (Richard Eliezer),” kata Anam.
Narasi palsu tersebut, dilanjutkan dengan pelaporan resmi ke Polres Metro Jakarta Selatan oleh Irjen Sambo dan istrinya, serta seorang petugas Polres Metro Jaksel, Briptu Martin Gabe. Terlapor adalah Brigadir J.
“Dalam laporan tersebut, Brigadir J dilaporkan atas dugaan percobaan pembunuhan terhadap Bharada RE dan tindak pidana pelecehan seksual terhadap PC,” kata Anam.
Dalam narasi palsu itu juga, kata Anam, ada skenario palsu tambahan, dengan pembuatan video-video animasi tentang peristiwa fiktif yang terjadi di Duren Tiga 46, terkait dugaan pelecehan seksual dan percobaan pembunuhan atas terlapor Brigadir J itu.
Obstruction of justice lainnya, kata Anam, juga terjadi dari sisi penggunaan pengaruh jabatan.
Dikatakan Anam, dari hasil penyelidikannya, ada temuan fakta berupa anggota kepolisian dalam jumlah yang banyak, menjalankan perintah mengikuti skenario palsu penyebab kematian Brigadir J. “Dalam hal penggunaan pengaruh jabatan tersebut, juga terjadi pada saat pembuatan dua laporan ancaman pembunuhan dan dugaan pelecehan seksual di Duren Tiga 46,” kata Anam.