Senin 05 Sep 2022 12:51 WIB

Riset: Tak Hanya Konsumen, Kenaikan Harga Pangan Ikut Tekan Daya Beli Petani

dua pertiga petani Indonesia yang net food consumers pasti tertekan kenaikan harga

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Petani menanam padi (ilustrasi).  Kenaikan harga pangan yang terjadi beberapa waktu terakhir, nyatanya tak hanya melemahkan konsumen rumah tangga. Namun, turut menekan daya beli para petani karena mereka juga merupakan konsumen.
Foto: Kementan
Petani menanam padi (ilustrasi). Kenaikan harga pangan yang terjadi beberapa waktu terakhir, nyatanya tak hanya melemahkan konsumen rumah tangga. Namun, turut menekan daya beli para petani karena mereka juga merupakan konsumen.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kenaikan harga pangan yang terjadi beberapa waktu terakhir, nyatanya tak hanya melemahkan konsumen rumah tangga. Namun, turut menekan daya beli para petani karena mereka juga merupakan konsumen.  

”Kenaikan harga pangan belum tentu berdampak positif bagi pendapatan petani karena petani Indonesia rata-rata menguasai lahan yang kecil. Hampir 60 persen rumah tangga pertanian mengelola lahan yang luasnya kurang dari 0,5 hektar atau masuk dalam kategori gurem,” kata Head of Agriculture dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya Alta, dalam keterangan resminya, Senin (5/9/2022).

Penelitian CIPS menyebutkan, sebanyak 2/3 petani di Indonesia adalah net food consumers. Artinya, mereka mengonsumsi dan membeli pangan lebih banyak dari pada pangan yang mereka tanam.

Karena itu, Aditya menuturkan, situasi harga pangan yang tinggi akan memengaruhi kemampuan mereka untuk membelinya. Petani kecil tercatat menyumbang sekitar 90 persen dari produksi total beras di Indonesia. Berdasarkan data BPS, Nilai Tukar Petani (NTP) pada Agustus 2022 sebesar 106,31 atau naik 1,97 persen dibanding NTP bulan sebelumnya.

Namun, ia mengingatkan, NTP petani tanaman pangan hampir selalu mengalami defisit atau kurang dari 100 poin. Di mana, sepanjang Januari-Agustus 2022 NTP petani tanaman pangan hanya sebesar 97,97. Nilai ini merupakan penurunan dari NTP petani tanaman pangan sepanjang tahun 2021 yaitu 98,21.

Aditya menambahkan, peningkatan daya saing petani merupakan suatu hal yang perlu diikuti kebijakan konkret. Penelitian CIPS menunjukkan, akses petani terhadap input pertanian berkualitas perlu diprioritaskan supaya mereka bisa menggunakannya sesuai dengan kebutuhan.

Namun, menurutnya, yang masih terjadi di lapangan adalah, adopsi Kartu Tani berjalan lambat dan hal ini memengaruhi akses petani kepada input pertanian.

Selain itu, dibutuhkan evaluasi pada penerima subsidi input pertanian seperti pupuk bersubsidi. Dibutuhkan kriteria yang jelas sehingga pada waktunya penerima subsidi bisa naik kelas dan berdaya sehingga subsidi bisa dialihkan ke sektor lain yang lebih produktif.

Di sisi lain, perbaikan dan pembangunan infrastruktur pendukung pertanian juga diperlukan untuk menambah efisiensi proses produksi."Dalam konteks produksi telur, misalnya, pembangunan infrastruktur untuk mendorong terciptanya rantai pasok yang lebih efisien melalui pembangunan jalan yang mempermudah pengangkutan pakan dari sentra produksi ke peternakan dapat dilakukan," katanya.

Selain itu, kehadiran infrastruktur dapat membuat proses distribusi jagung untuk pakan ternak dapat dilakukan dengan biaya lebih murah.

Aditya menegaskan, pemerintah perlu mewaspadai naiknya harga beberapa komoditas pangan. Pergerakan harga seharusnya sudah bisa diwaspadai sejak awal tahun agar tidak terjadi peningkatan yang tidak bisa dijangkau oleh masyarakat.

"Selain memastikan kelancaran perdagangan pangan, fluktuasi harga bisa dicegah dengan membuat rantai distribusi pangan menjadi lebih efisien,” ujar dia.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement