Senin 05 Sep 2022 14:13 WIB

Bangladesh Protes Pelanggaran Wilayah Udara Berulang oleh Myanmar

Meningkatnya ketegangan perbatasan dan pelanggaran wilayah udara oleh Myanmar

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
protes terhadap meningkatnya ketegangan perbatasan dan pelanggaran wilayah udara secara berulang oleh Myanmar.
Foto: Roger Arnold/UNHCR via AP
protes terhadap meningkatnya ketegangan perbatasan dan pelanggaran wilayah udara secara berulang oleh Myanmar.

REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Bangladesh pada Ahad (4/9/2022) memanggil duta besar Myanmar untuk ketiga kalinya dalam dua minggu terakhir. Pemanggilan ini sebagai protes terhadap meningkatnya ketegangan perbatasan dan pelanggaran wilayah udara secara berulang oleh Myanmar.

Duta Besar Myanmar di Dhaka, U Aung Kyaw Moe dipanggil ke Guest House Padma di Ibu Kota Dhaka. Pemanggilan dilakukan setelah dua peluru mortir yang ditembakkan oleh pasukan Myanmar mendarat di Bangladesh pada Sabtu (3/9/2022).

 “Kami memanggil duta besar Myanmar atas pendaratan peluru mortir baru-baru ini di dalam wilayah Bangladesh. Kami mengutuk keras pelanggaran wilayah udara dan penembakan di sepanjang perbatasan,” kata pejabat Kementerian Luar Negeri, Miah Md. Mainul Kabir, dilansir Anadolu Agency, Senin (5/9).

Kedua peluru mortir itu jatuh di lahan kosong di distrik timur laut, Bandarban.  Namun tidak ada cedera atau kerusakan properti yang dilaporkan. Sebelumnya, dua peluru mendarat di distrik yang sama pada 28 Agustus. Sehari kemudian Kementerian Luar Negeri memanggil utusan Myanmar untuk mengajukan protes.

Menyusul insiden tersebut, Bangladesh memerintahkan pasukan perbatasan untuk memperluas pemantauan dan langkah-langkah keamanan di seluruh perbatasan.  Penduduk perbatasan juga telah diinstruksikan untuk tetap waspada.

Ketegangan juga meningkat di dalam Bangladesh ketika baku tembak sengit antara tentara Myanmar dan pejuang Tentara Arakan meningkat. Saat ini Bangladesh menampung lebih dari 1,2 juta pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari Negara Bagian Rakhine Myanmar, setelah tindakan keras militer  pada Agustus 2017.

Muslim Rohingya menghadapi diskriminasi yang meluas di Myanmar, yang mayoritas beragama Buddha. Sebagian besar warga Rohingya ditolak mendapatkan kewarganegaraan dan hak-hak lainnya.

Pejabat Bangladesh telah gagal untuk mengupayakan pemulangan pengungsi Rohinga ke Myanmar. Bangladesh melakukan dua upaya untuk mengirim para pengungsi Rohingya kembali ke Myanmar sejak 2017, namun tidak berhasil.

Perdana Menteri Bangladesh, Sheikh Hasina,mengatakan, pemulangan Rohingya ke tanah air mereka sendiri adalah satu-satunya solusi untuk menyelesaikan krisis pengungsi. Sementara Menteri Dalam Negeri Bangladesh, Asaduzzaman Khan, mengatakan, Bangladesh ingin para pengungsi kembali ke Myanmar dengan selamat.

“Bangladesh ingin memastikan bahwa Rohingya dapat kembali ke rumah mereka dengan kondisi aman di Myanmar, di mana mereka tidak akan lagi dianiaya dan akhirnya akan menerima kewarganegaraan,” kata Khan.

“Kami mendesak masyarakat internasional untuk bekerja bersama kami dalam memberikan dukungan kepada orang-orang Rohingya, dengan menegaskan tekanan pada Myanmar untuk menghentikan penganiayaan massal dan memungkinkan pemulangan Rohingya yang aman ke rumah mereka,” kata Khan menambahkan.

Dalam sebuah pernyataan, Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, mengatakan, Washington tetap berkomitmen untuk memajukan keadilan dan akuntabilitas bagi Rohingya dan semua orang Myanmar. Blinken juga menyatakan bahwa, Washington akan terus mendukung Mekanisme Investigasi Independen untuk Myanmar.

 

"Kasus di bawah Konvensi Genosida telah diajukan Gambia terhadap Burma  ke Mahkamah Internasional, dan ke pengadilan yang kredibel di seluruh dunia, yang memiliki yurisdiksi dalam kasus-kasus yang melibatkan kejahatan kekejaman militer Burma," kata Blinken.

Secara terpisah, pernyataan bersama oleh Perwakilan Tinggi atas nama Uni Eropa, dan para menteri luar negeri Australia, Kanada, Selandia Baru, Norwegia, Inggris dan Amerika Serikat mengatakan, ada pola yang konsisten dari pelanggaran dan pelanggaran hak asasi manusia yang serius. Banyak di antaranya merupakan kejahatan berat menurut hukum internasional.

 “Kami juga mengakui inisiatif lain untuk meminta pertanggungjawaban pelaku, termasuk upaya Gambia di hadapan Mahkamah Internasional, yang saat ini sedang memeriksa apakah kekejaman yang dilakukan oleh militer Myanmar terhadap Rohingya sama dengan genosida. Kami menegaskan kembali bahwa Myanmar harus mematuhi perintah tindakan sementara Mahkamah Internasional,” ujar pernyataan bersama itu.

Kelompok hak asasi manusia termasuk Amnesty International dan Human Rights Watch juga mendesak dunia internasional untuk bertindak. Dalam sebuah pernyataan, Human Rights Watch mengatakan, peringatan itu harus mendorong pemerintah yang peduli untuk berupaya meminta pertanggungjawaban militer Myanmar. Termasuk mengamankan keadilan dan keselamatan bagi Rohingya di Bangladesh, Myanmar dan di seluruh wilayah.

“Pemerintah harus menandai peringatan lima tahun kampanye yang menghancurkan terhadap Rohingy dengan strategi internasional terkoordinasi untuk akuntabilitas dan keadilan yang mengacu pada Rohingya,” Penjabat Direktur Asia di Human Rights Watch, Elaine Pearson.

Bangladesh dan Myanmar menandatangani perjanjian bilateral pada November 2017, yang ditengahi oleh Cina untuk pemulangan para pengungsi. Awal bulan ini, Bangladesh meminta bantuan Cina untuk membantu memulangkan pengungsi Rohingya ke Myanmar. Permintaan ini disampaikan selama kunjungan Menteri Luar Negeri Cina, Wang Yi ke Bangladesh.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement