Senin 05 Sep 2022 22:03 WIB

Ini Latar Belakang Digelarnya Kongres Ulama Perempuan Indonesia

Kiprah dan tradisi keulamaan perempuan tidak hanya berakar pada norma-norma teologis.

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Agung Sasongko
Kongres Ulama Perempuan Indonesia (Ilustrasi)
Foto: ANTARA FOTO/Dedhez Anggara
Kongres Ulama Perempuan Indonesia (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam pentas sejarah, ulama tidak hanya sekedar sosok yang dianggap memiliki otoritas keagamaan dan pengetahuan, melainkan juga gerakan kemanusiaan yang bersifat keagamaan. Sejak pertama kali wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, perempuan terlibat dalam gerakan ini, dengan berbagai kiprah spiritual, intelektual dan sosial mereka.

Ketua Umum Panitia Pelaksana atau Organizing Committee (OC) KUPI II, Nyai Masruchah, menyampaikan, paska Nabi Muhammad SAW wafat, sosok seperti Fathimah ra, Aisyah ra, Umm Salamah ra, Nusaibah ra, Hafsah ra, dan yang lain tampil ke publik sebagai perempuan yang memiliki otoritas keulamaan dalam kehidupan sosial umat Islam pada masa-masa awal. Namun, kiprah ini seiring perkembangan waktu, terlihat timbul dan tenggelam karena berbagai faktor sosial dan politik yang dihadapi umat Islam sepanjang sejarah peradaban mereka.

Baca Juga

"Ada banyak momen sejarah, termasuk pada awal-awal modernitas masuk ke bangsa-bangsa Muslim dunia, pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, di mana kiprah ulama perempuan tidak terlihat dan tidak diakui. Kondisi ini mempengaruhi alam bawah sadar umat Islam dunia sampai saat ini, sehingga perlu kerja-kerja peradaban yang ekstra untuk memunculkan keberadaan ulama perempuan, dan mengakui kehadiran serta otoritas mereka," kata Nyai Masruchah menjelaskan latar belakang diselenggarakannya KUPI, Senin (5/9/2022).

Nyai Masruchah mengatakan, kiprah dan tradisi keulamaan perempuan tidak hanya berakar pada norma-norma teologis, seperti ajaran kesetaraan (musawah) dari Alquran dan sikap penghormatan Nabi Muhammad SAW terhadap perempuan, melainkan banyak dipengaruhi konteks geopolitik budaya, dan proses asimilasi Islam dengan budaya-budaya lokal di berbagai tempat.

Berbeda dengan konteks sosial budaya negara-negara lain, Indonesia memiliki karakteristik keislaman yang lebih terbuka bagi perempuan untuk beraktivitas di berbagai ruang publik, baik ekonomi, sosial, maupun politik. Konteks sosial budaya inilah yang memungkinkan perhelatan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di sebuah pesantren Cirebon tahun 2017 berhasil memunculkan keberadaan para ulama perempuan, meneguhkan otoritas mereka dalam kehidupan sosial keagamaan dan yang lain, serta mengapresiasi kiprah mereka dalam kerja-kerja keislaman, kebangsaan, kemanusiaan, dan kesemestaan.

"Keberhasilan itu tidak hanya ditandai dengan liputan media yang begitu masif saat itu, dan dukungan berbagai tokoh agama tingkat nasional dan daerah, melainkan juga fatwa yang dikeluarkannya telah digunakan berbagai lembaga negara dan masyarakat sipil," ujar Nyai Masruchah.

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement